Jumat, 23 Januari 2015

SKRIPSI AGAMA

BAB I PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang Masalah
 Allah SWT. tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya tanpa suatu aturan. Demi menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah SWT. menciptakan hukum sesuai martabatnya, sehingga hubungan antara pria dan wanita diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai. Perkawinan merupakan pondasi untuk membina rumah tangga yang mengatur hubungan antara pria dan wanita secara terhormat, oleh karenanya Islam mensyari'atkan perkawinan untuk melanjutkan keturunan secara sah dan mencegah perzinaan. Adapun tujuannya ialah agar tercipta rumah tangga yang penuh kedamaian, ketenteraman, cinta dan kasih sayang. Hubungan saling meridhai ini pada dasarnya bermula dari adanya rasa suka antar lain jenis, yang kemudian dengan kesepakatan keduanya berlanjut untuk melangsungkan perkawinan. Tidak diragukan lagi, jika kedudukan antara pria dan wanita sama, sebanding atau sederajat, maka akan membahagiakan kehidupan rumah tangga yang akan dibina. Persamaan itu antara lain adalah sama dalam kedudukan, tingkat sosial, sederajat dalam akhlak, kekayaan dan agama. Perkawinan merupakan sebuah kebutuhan pokok setiap mahluk yang bernyawa. Tujuan dari sebuah perkawinan itu, sebenarnya bukan hanya sekedar melampiaskan kebutuhan biologis belaka, tetapi melestarikan keturunan. Dalam ajaran Islam, nabi SAW. sebagai panutan memberikan penjelasan panjang lebar seputar tujuan serta manfaat perkawinan. Bahkan, nabi SAW. juga memberikan teladan bagaimana cara memilih kriteria pasangan sejati, agar bahtera rumah tangga benar-benar sesuai dengan manfaat dan tujuan perkawinan. Terkait dengan memilih pasangan, nabi SAW. mewanti-wanti kepada umatnya agar jangan sampai salah pilih. Karena dampakanya kurang atau malah tidak baik di dalam membangun generasi unggulan, dan akan berbuntut dikemudian hari. nabi SAW. menuturkan: عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اخْتَارُوا لِنُطَفِكُمُ الْمَوَاضِعَ الصَّالِحَةَ رواه الدارقطن(3832) Artinya: Diriwayatkan dari ‘Āisyah RA., nabi SAW. menuturkan: ”Pilihlah tempat yang paling benar wanita yang akan mengandung anakmu“ Salah satu bentuk perkawinan yang menjadi kontroversi dan akan terus berlanjut adalah perkawinan beda agama. Apabila dibagi, maka perkawinan yang tidak sederajat dalam hal agama ini terbagi menjadi empat bentuk: 1. Perkawinan antara pria Muslim dengan wanita ahl al-Kitāb 2. Perkawinan antara pria Muslim dengan wanita musyrik 3. Perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria ahl al-Kitāb 4. Perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria musyrik, yakni yang bukan ahl al-Kitāb. Perkawinan bentuk pertama, sebagian ulama membolehkan dan sebagian lagi mengharamkannya. Ulama yang membolehkan berdasarkan firman Allah SWT.: وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُن )المائدة: ٥ ( Artinya: Dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya.(al-Mā’idah:5). Dari teks zhāhir ayat ini dapat dipahami bahwa Allah membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-Kitāb yang muhshanāt, artinya wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, dari perbuatan zina. Selain arti itu, ada juga yang memahami kata muhshanāt ketika dirangkaikan dengan utū al-Kitāb dari ayat di atas dengan arti wanita-wanita merdeka atau wanita-wanita yang sudah kawin. Ulama yang mengharamkan berdasarkan firman Allah SWT. dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221 : وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ )البقرة: ٢٢١( Artinya: Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang laki-laki musyrik dengan perempuan yang beriman sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. (al-Baqarah: 221) Asbābun al-Nuzūl ayat ini turun pada seorang sahabat yang dikenal dengan panggilan Abī Martsad al-Ghanawī, nama beliau Kanāz ibn Hushayn al-Ghanawī. rasulullah SAW.. mengutusnya ke Makkah secara rahasia untuk mengeluarkan para sahabat dari Makkah. Ketika di Makkah, dia mencintai seorang wanita jahiliyah yang dipanggil dengan ‘ināq. Wanita tersebut meminta Abī Martsad untuk menikahinya, maka dia akan menikahi wanita tersebut setelah terlebih dahulu meminta izin rasullullah SAW.. Maka, Ia mendatangi rasullullah SAW. untuk meminta agar diizinkan menikah dengan wanita yang sangat cantik dan menarik tersebut, akan tetapi wanita itu seorang yang menyekutukan Allah SWT.. Lantas rasullullah SAW. melarangnya untuk menikah dengan ‘ināq, karena dia seorang Muslim sedangkan wanita tersebut seorang musyrik. Maka ia berkata: ”Wahai rasulullah SAW., sesungguhnya wanita ini sangat cantik dan memikat hatiku”. Kemudian, turunlah ayat ini sebagai bukti larangan menikahi wanita musrik. Dalam ayat tersebut Allah SWT.. menyatakan dengan tegas dan umum larangan menikahi wanita-wanita musyrik kafir baik mereka golongan ahl al-Kitāb ataupun bukan. Dalam ayat ini juga mengisyaratkan betapa pentingnya perkawinan atas dasar keyakinan dan agama. Bukan berarti kecantikan atau ketampanan tidak penting, akan tetapi jika kecantikan itu justru membawa petaka, maka apa artinya sebuah perkawinan. Karena kemungkinanan terjadinya perceraian antara suami istri yang berbeda keyakinan lebih besar dibandingkan dengan perceraian lainnya. Jika dilihat secara seksama dua dalil di atas tidak bertentangan, tetapi hanya mengkhususkan hukum di salah satu dalil tersebut. Karena pernyataan Allah SWT. dalam Q.S. al-Mā’idah (5) ayat 5 adalah untuk membuka sedikit celah kebolehan hukum menikah dengan ahl al-Kitāb: وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُن )المائدة: ٥ ( Artinya: Dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya.(al-Māidah:5). Dalam potongan ayat tersebut Allah SWT.. menyatakan bahwasanya boleh melakukan perkawinan dengan wanita ahl al-Kitāb padahal wanita ahl al-Kitāb bukanlah wanita Muslimah. Ayat ini tidak bertolak belakang dengan Q.S. al-Baqarah ayat 221, karena disini menunjukkan pengkhususan larangan kepada selain ahl al-Kitāb dan pembolehan menikahi wanita ahl al-Kitāb. Dengan demikian tidak semua wanita musyrik haram dinikahi, namun khusus wanita musyrik dari golongan ahl al-Kitāb, tidaklah haram dinikahi. Ternyata celah tersebut menimbulkan perselisihan tentang pemahaman makna ahl al-Kitāb dengan beragam pengertian yang berbeda diantara para ulama serta implikasinya terhadap hukum perkawinan. Sebagian ulama mengartikan ahl al-Kitāb atas nama Yahudi dan Nasrani, sebagian lainnya mengartikan dengan lebih umum dan sebagian lainnya mengartikan dengan lebih khusus. Menurut Muhammad Quraish Shihab, selanjutnya penulis menyebut dengan Quraish dan kelompok yang membolehkan perkawinan dengan ahl al-Kitāb, berdasar teks zhāhir ayat, bahwa pendapat yang mengatakan Q.S. al-Mā'idah (5) ayat 5 dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221, adalah suatu kejanggalan. Karena ayat yang disebut pertama turun belakangan daripada ayat yang disebut kedua, dan tentu saja tidak logis sesuatu yang datang terlebih dahulu membatalkan hukum sesuatu yang belum datang atau yang datang sesudahnya. Golongan yang membolehkan juga menguatkan pendapat mereka dengan menyebutkan beberapa sahabat dan tabiin yang yang pernah menikah dengan wanita ahl al-Kitāb . Dari kalangan sahabat antara lain ialah 'Utsman, Thalhah, Ibnu 'Abbās, Jābir dan Huzayfah. Sedangkan dari kalangan tabiin semisal Sā'iyd ibn Musayyab, Sa'iyd ibn Jabair, al-Hasan, Mujāhid, Thāwus, ‘Ikrimah, al-Sya'bī dan al-Dhahak. Perkawinan bentuk kedua dan keempat, umumnya disepakati oleh jumhur ulama sebagai perkawinan yang diharamkan, berdasarkan Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221. Adapun perkawinan bentuk ketiga, meskipun tidak disebutkan dalam al-Qur'an, menurut jumhur adalah juga diharamkan. Walaupun pandangan mayoritas ulama tidak memasukkan ahl al-Kitāb dalam kelompok yang dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria ahl al-Kitāb mengawini wanita Muslimah. Bukankah mereka, walau tidak dinamai musyrik, dimasukkan dalam kelompok kafir?. Dari ayat di bawah ini dapat dipahami bahwa wanita-wanita Muslimah tidak diperkenankan mengawini atau dikawinkan dengan pria kafir, termasuk juga ahl al-Kitāb, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya Q.S. al-Mumtahanah (60) ayat 10 : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآَتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ 10 Artinya: Wahai orang-orang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir suami-suami mereka. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada suami mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu berpegang pada tali perkawinan pada perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan jika suaminya tetap kafir biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan kepada mantan istrinya yang telah beriman. Demikianlah hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Pada dasarnya, perbedaan pendapat ulama berawal ketika mereka menyebutkan siapa saja yang termasuk ahl al-Kitāb. Imam Syāfi’ī misalnya, memahami istilah ahl al-Kitāb sebagai keturunan Yahudi dan Nasrani Bani Israil dan selain keturunan Bani Israil, tetapi nenek moyang mereka telah menganut ajaran Yahudi atau Nasrani sebelum dihapuskam ketetapannya. Alasan beliau antara lain bahwa nabi Mūsā dan 'Isā, hanya diutus kepada mereka, Bani Israil, bukan kepada bangsa-bangsa lain. Selain itu, juga karena adanya redaksi min qablikum sebelum kamu pada ayat yang membolehkan perkawinan itu yaitu Q.S. al-Mā’idah (5) ayat 5. Berbeda dengan Imam Syāfi’ī, Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahl al-Kitāb. Dengan demikian, ahl al-Kitāb tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani. Jika ada satu kelompok yang hanya percaya pada Suhuf Ibrahim atau Zabur yang diberikan kepada nabi Daud AS saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian ahl al-Kitāb. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci, maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahl al-Kitāb, seperti halnya Majusi. Kemudian diperluas lagi sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu. Tentunya, pendapat-pendapat yang berbeda ini akan membawa implikasi kepada siapakah golongan yang boleh atau tidak boleh dinikahi pria Muslim. Dapat difahami secara umum berdasarkan fiqh Syāfi’iyyah Perkawinan lelaki Muslim dengan wanita kafir yang bukan murni ahl al-Kitāb, seperti wanita penyembah berhala, Majusi, atau salah seorang dari kedua orang tuanya adalah orang kafir adalah batal, sebagaimana firman Allah SWT.. : وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ Artinya : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman…”. Pelarangan dalam ayat tersebut menunjukkan keharamannya. Yang dimaksud dengan wanita ahl al-Kitāb yang masih murni, adalah wanita Bani Israil. Ia halal bagi kita sebagaimana firman Allah SWT.. : وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu…”. Yang dimaksud dengan al-Kitāb adalah Taurat dan Injil dan bukan kitab-kitab yang lain sebelumnya, seperti suhuf nabi Syits, Idris dan Ibrahim AS, karena kitab-kitab tersebut tidak diturunkan secara teratur sistematik, dan bisa dipelajari ataupun dibaca. Para nabi tersebut hanya diberi wahyu tentang pengertian-pengertiannya saja, atau karena kitab-kitab tersebut hanya memuat kata hikmah dan nasehat-nasehat, dan tidak memuat hukum-hukum syariat. Perkawinan sah jika nenek moyang wanita-wanita kafir ahl al-Kitāb tersebut tidak memeluk agama ahl al-Kitāb sesudah adanya penghapusan agama atau penyalinan agama ahl al-Kitāb tersebut, sama saja apakah telah mengetahui keadaan sebelumnya ataupun meragukannya, karena keteguhan mereka dengan agama tersebut. Pendapat-pendapat yang penyusun utarakan di atas adalah pendapat-pendapat para ulama besar Islam di Timur Tengah, sehingga menarik penyusun untuk mengkaji atau membandingkan dengan pendapat seorang ulama Indonesia, yakni Muhammad Quraish Shihab, yang tidak diragukan lagi kapasitas keilmuannya dalam bidang kajian keislaman, terlebih lagi dalam bidang tafsir yang nantinya akan membantu penyusun untuk mengetahui pendapatnya tentang makna ahl al-Kitāb serta implikasinya terhadap hukum perkawinan dengan wanita ahl al-Kitāb. Penelitian ini penting untuk didalami, dikarenakan banyak praktek pernikahan beda agama yang terjadi dikalangan kita tanpa mengetahui ketentuan pernikahan beda agama yang sebenarnya. Misalnya saja baru-baru ini beredar film yang diangkat dari kisah nyata garapan Hanung Bramantyo “Cinta Tapi Beda” film yang ditayangkan perdana 27 desember 2012 tersebut menggambarkan kasus pernikahan beda agama. Kasus nikah beda agama tersebut menjadi tema perbincangan program Agama dan Masyarakat yang diselenggarakan KBR68H (Kantor Berita Radio). Perbincangan tersebut mengundang tiga narasumber, Taty Apriliyana (pelaku nikah beda agama serta penulis skenario film “Cinta Tapi Beda”), Romo Antonius Benny Susetyo (Sekretaris Eksekutif Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Iindonesia) dan Zuhairi Misrawi (cendekiawan muslim). Zuhairi Misrawi mengingatkan, dalam pandangan Islam terhadap nikah beda agama itu tidak monolitik. Zuhairi melihat pandangan Islam soal nikah beda agama, sesungguhnya ada pertarungan politik dibalik masing-masing pendapat. Kita memaklumi pendapat yang berlatar konflik antara orang Islam dengan non muslim terutama Yahudi. “Kita melihat konteksnya bagaimana sahabat nabi menikah, lebih cocok pada Indonesia yang plural,” imbuh Zuhairi. Zuhairi berpendapat, pernikahan itu dalam fiqh dikategorikan muamalah (hubungan antar manusia) yang bisa dikonstruksi sesuai kebutuhan zaman. Atas landasan ini kemudian mestinya nikah beda agama itu sangat baik. “Ijtihad saya pribadi, yang penting dalam pernikahan itu adalah restu orang tua. Oleh karena itu kalau ada orang yang menikah beda agama, yang saya tekankan adalah restu orang tua, restu orang tua dalam semua agama sama,” tegas Zuhairi. B. Rumusan Masalah Dengan latar belakang tersebut di atas peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Makna Ahl al-Kitāb Dan Implikasinya Terhadap Hukum Perkawinan Studi Analisis Fiqh Syāfi’iyyah Dan Pemikiran M. Quraish Shihab, dengan identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana makna ahl al-Kitāb berdasarkan pemahaman fiqh Syāfi’iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab 2. Bagaimana implikasi makna ahl al-Kitāb berdasarkan pemahaman fiqh Syāfi’iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab terhadap hukum perkawinan C. Tujuan Penelitian Dalam sebuah penelitian pasti ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh seorang peneliti. Hal tersebut juga merupakan manfaat yang ada dan terdapat dalam penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mendiskripsikan makna ahl al-Kitāb berdasarkan pemahaman fiqh Syāfi’iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab 2. Untuk mendiskripsikan implikasi makna ahl al-Kitāb berdasarkan pemahaman fiqh Syāfi’iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab terhadap hukum perkawinan. D. Kegunaan Hasil Penelitian Penulisan sebuah karya ilmiah dari sebuah penelitian menghasilkan dampak atau manfaat bagi pembaca. Manfaat penelitian bersifat teoritis dan praktis, teoritis berguna untuk mengembangkan ilmu dan memperkaya khazanah ilmu dalam bidang tertentu. Sedangkan praktis sebagai masukan bagi pihak-pihak terkait dalam pengambilan kebijakan dan keputusan terhadap persoalan yang berkembang. Kegunaan hasil penelitian pada karya ilmiah penulis yaitu sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Diharapkan dapat membuka wacana bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya akan makna ahl al-Kitab dan implikasinya terhadap perkawinan berdasarkan fiqh Syāfi’iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab. b. Sebagai sumbangan untuk memperkaya khazanah keilmuan khususnya pada pembahasan perkawinan dengan ahl al-Kitab dalam pandangan fiqh Syāfi’iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab. 2. Manfaat Praktis a. Dapat dijadikan sebagai rujukan dan referensi dalam bagi problema tentang pemaknaan ahl al-Kitab dan implikasinya terhadap perkawinan berdasarkan fiqh Syāfi’iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab. b. Dapat dijadikan sebagai input bagi publik, yaitu bagi masyarakat pada umumnya dan bagi pemerintah khususnya dibidang perkawinan dengan ahl al-kitab menurut fiqh Syāfi’iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam setiap penulisan karya ilmiah harus mempunyai metode atau cara tertentu sesuai dengan penelitian yang hendak dibahas. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Yakni, pendekatan yang berupaya memahami gejala-gejala yang dihadapi sehingga gejala-gejala yang ditemukan tidak memungkinkan untuk diukur oleh angka-angka. Selain itu dengan penelitian kualitatif penulis dapat mengekplorasi hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh penulis akan ditemukan di saat melakukan penelitian. Penelitian kualitatif lebih mendalam, yaitu lebih pasti, lebih objektif, dan lebih kritis. Penelitian kualitatif memungkinkan penulis mendapatkan jawaban mendalam mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh penulis, termasuk sikap, kepercayaan, motif dan perilaku subjek penelitian. Penelitian ini adalah penelitian pustaka library research yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumbernya. Penulis akan menelusuri dan menelaah bahan-bahan pustaka atau literatur-literatur yang terkait dengan permasalahan tersebut di atas. 2. Sumber Data Sumber yang dijadikan rujukan dalam penulisan skripsi ini di sesuaikan dengan data yang diperlukan, baik yang bersifat alternatif maupun kumulatif yang saling melengkapi. Oleh karena kajian skripsi ini bersifat perpustakaan library research, maka sumber utamanya adalah karya-karya ulama dari madzhab Syāfi’ī dan M. Quraish Shihab. Sumber-sumber data primer yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Berbagai kitab fiqh madzhab Syāfi’ī, seperti kitab al-Syarqāwī ‘ala al-tahrīri dan Manhaj Thullāb karangan Zakariyyā Al-Ansharī, kitab Mughnī al-Muhtāj karangan Muhammad Khathib al-Syarbaynī, kitab Minhāj al-Thālibīn karangan al-Imām al-Nawawī, kitab I’ānat al-Thālibīn karangan Muhammad Syathā, dan kitab Fiqh al-Islami Wa Adillatuh karangan Wahbah al-Zuhaylī serta kitab lainnya yang berpegang dengan madzhab Syāfi’ī. 2. Berbagai karangan M. Quraish Shihab antara lain: Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, buku Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, buku Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab Seputar Wawasaan Agama dan Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat serta karangan M. Quraish Shihab lainnya. Disamping itu, sumber-sumber data sekunder yang dapat memberikan informasi-informasi yang dianggap berkenaan dan berkaitan dengan tema penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penentuan metode pengumpulan data selalu disesuaikan dengan jenis dan sumber data yang diperlukan. Pada umumnya pengumpulan data dapat dilakukan dengan beberapa metode, baik yang alternatif maupun kumulatif yang saling melengkapi. Dalam hal ini penulis berupaya mengumpulkan data yang menyangkut pemikiran terhadap makna ahl al-Kitāb dan implikasinya terhadap perkawinan menurut M. Quraish Shihab dan fiqh Syāfi'iyyah. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (library research) dan dokumentasi yang tertulis, terutama kitab-kitab dan buku atau literatur lain yang terkait penelitian dan data-data tertulis lainnya, yang dikumpulkan kemudian dikaji sesuai dengan konteks bahasan. 4. Teknik Analisis Data Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan Analisa isi (content Analysis). Penulis melakukan analisis terhadap pemikiran-pemikiran tentang makna ahl al-Kitāb dan implikasinya terhadap perkawinan menurut M. Quraish Shihab dan fiqh Syāfi’iyyah berdasarkan teori Analisa isi, terutama teori tentang pandangan ulama madzhab Syāfi'ī dan pemikiran M. Quraish Shihab terahadap makna ahl al-Kitāb. Kemudian implikasi dari masing-masing pendapat tersebut. Aspek analisis yang dilakukan penulis menyangkut dua hal, yaitu pemaknaan ahl al-Kitāb dan implikasinya terhadap perkawinan menurut kedua pemikiran tersebut. 5. Keabsahan Data Penelitian itu bertujuan untuk menjawab beragam rumusan masalah yang belum ditemukan jawabannya, agar tidak tersalah dalam mengambil kesimpulan maka penelitian ini membutuhkan data-data yang benar dan akurat serta dapat dijamin keabsahannya. Dengan demikian, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan data-data yang benar dan akurat serta dapat dibuktikan kebenarannya sesuai dengan permasalahan yang penulis kaji. Tidak merekayasakan data atau mengadopsi data yang hasil dari pemikiran sendiri. Oleh karena itu tulisan ini bukanlah hasil ciplakan ataupun ubahan dari karya tulis orang lain. Adapun pendapat atau kutipan dalam penulisan ini merupakan faktor pendukung dan pelengkap, karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan yang bersifat ilmiah ini. 6. Jadwal Penelitian Penelitian ini direncanakan pelaksanaannya dimulai pada awal bulan April 2012 dan diharapkan dapat diselesaikan pada awal bulan Februari 2013. Namun pada kenyataannya, ini akan sangat tergantung dengan kesiapan bahan yang akan dikaji serta sedikit banyaknya kendala yang penulis hadapi. 7. Teknik Penulisan Setiap penulisan karya ilmiah tentunya berpedoman kepada salah satu buku petunjuk penulisan karya ilmiah yang berlaku di sebuah Fakultas atau Sekolah Tinggi. Maka dalam penelitian ini penulis berpedoman pada buku Panduan Penulisan Karya Ilmiah Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aziziyah edisi-revisi 2012. BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Hasil Penelitian Yang Relevan Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembahasan sebuah Skripsi adalah pembahasan yang akan dilakukan oleh mahasiswa tersebut belum pernah dibahas sebelumnya oleh mahasiswa lain, atau pembahasan yang akan dibahasnya nanti punya perbedaan yang jelas dengan apa yang telah dibahas oleh mahasiswa lainnya walaupun kedua-duanya meneliti dan mengkaji dalam sebuah permasalahan yang sama. Karena apabila Skripsi yang ditulis sama seperti yang telah ada, maka Skripsi tersebut akan dianggap hasil dari plagiat, tidak orisinil. Oleh kerena itu, untuk menghindari terjadinya persamaan dalam penulisan Skripsi, penulis kemudian memeriksa Skripsi-skripsi yang ada dalam perpustakaan Tun Sri Lanang STAI Al-Aziziyah Samalanga Kab. Bireuen maupun di tempat-tempat yang lain, seperti Lembaga Bahtsul Masail LBM MUDI Mesjid Raya Samalanga, internet dan lain sebagainya. Sejauh pengamatan dan penelusuran penulis, setelah penulis periksa isi perpustakaan dan lainnya, belum ada yang membahas secara khusus tentang makna ahl al-Kitāb dan implikasinya terhadap hukum perkawinan studi analisis fiqh Syāfi’iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab. Sehingga tertarik keinginan dari penulis untuk membahasnya dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi. Namun, penulis akan menyebutkan disini beberapa karya tulis ilmiah baik itu berbentuk skripsi, buku maupun kajian dalam penelitian ilmiah lainnya yang telah lebuh dahulu membahas tentang perkawinan beda agama, di antaranya: 1. Penelitian tentang "Perkawinan Berbeda Agama Studi Komperatif Antara fiqh Syāfi’iyyah dan Hukum Positif" karya Uria Rizki A. Bakar . Penelitian ini fokus primer kajiannya kepada konsep perkawinan beda agama menurut fiqh Syāfi’iyyah dan Hukum Positif dengan menelusuri berbagai pendapat ulama madzhab Syāfi’ī yang kemudiannya memperbandingkan dengan Hukum Positif. Walaupun ada disebutkan pendapat Syāfi’iyyah, namun tidak secara terperinci dan komprehensif. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa madzhab Syāfi’ī membolehkan menikah dengan wanita kitābiyyah yang khālishah, tidak dengan selain yang khālishah, sedangkan hukum positif melarang perkawinan berbeda agama tanpa memandang kitābiyyah atau bukan, baik khālishah atau bukan. 2. Penelitian tentang "Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974" , Pada penelitian ini kajian penelitiannya tidak terfokus kepada perbandingan antara fiqh Syāfi’iyyah dan Hukum positif akan tetapi membahas hukum Islam secara umum dan hukum positif dengan undang-undang yang yang terkhusus. Kesimpulan dari penelitian ini adalah "Hukum Islam menyatakan tidak sah perkawinan antara muslim dengan non muslim termasuk ahl al-Kitāb, karena keberadaan ahl al-Kitāb jaman sekarang telah menyimpang dari ajaran yang asli, demikian juga undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974, karena berprinsip segala perkawinan yang dilarang agama dilarang pula oleh undang-undang". 3. Penelitian tentang "Pernikahan Muslim Dengan Non Muslim Dalam Tafsir Tematik al-Qur'an" karya Imron Rosyadi. Penelitian ini menyoroti hukum pernikahan beda agama menurut Muhammadiyah dengan menggunakan Tafsir Tematik al-Qur'an, setelah melakukan kajian ayat 221 Q.S. al-Baqarah dan Q.S. al-Mā’idah ayat 5 serta melihat konteks keindonesiaan, pada akhirnya berkesimpulan bahwa haram hukumnya pernikahan orang muslim dengan orang yang beda agama di samping Yahudi dan Nasrani juga agama lainnya, baik bagi pria muslim maupun wanita muslim. 4. Skripsi saudara Fatahuddin Aziz Siregar yang berjudul “Studi Terhadap Perkawinan Berbeda Agama Menurut Muhammad 'Abduh” . Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun Akademik 1999. Penelitian ini mengulas tentang makna ahl al-Kitāb dan batasan-batasannya menurut Muhammad 'Abduh yang kemudian berimplikasi pada siapa saja wanita-wanita ahl al-Kitāb yang boleh dinikahi oleh pria muslim. Selain itu, juga membahas tentang metode-metode yang digunakan 'Abduh untuk menanggapi perkawinan beda agama. Kesimpulan isi skripsi ini menyatakan menurut 'Abduh, seorang muslim boleh kawin dengan wanita Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci dan ajaran pokok agama mereka mengandung ajaran tauhid. Ahl al-Kitāb juga termasuk pemeluk agama Budha, Hindu, Kong Hu Chu yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah mati dan sebagainya. Meskipun 'Abduh pada awalnya membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitāb, akan tetapi ia kemudian berubah sikap dengan pertimbangan menggejalanya kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis ataupun malah cenderung menimbulkan masalah yang fatal, yaitu beralihnya agama suami kepada agama istrinya yang ahl al-Kitāb. Oleh karenanya, ia mensyaratkan bagi pria muslim yang ingin menikah dengan wanita ahl al-Kitāb itu harus memiliki kualitas keberagamaan yang diyakini dapat menghindari kemudaratan yang akan timbul. 5. Yusuf Qardhawi, dalam buku Kumpulan Fatwa-Fatwa Mutakhir Dr. Yusuf Qardhawi, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, juga menguraikan secara panjang lebar mengenai masalah ini. Qardawi memaknakan ahl al-Kitāb sebatas pada Yahudi dan Nasrani yang diberikan kepada mereka hak-hak yang tidak diberikan kepada golongan lain. Dalam buku tersebut Qardawi juga mengurai hukum perkawinan dengan wanita musyrik, wanita Atheis dan Komunis, wanita murtad dan wanita yang menganut agama Bahā'i, yakni agama buatan manusia. Pembahasan-pembahasan ini perkawinan dengan wanita-wanita "selain" ahl al-Kitāb itu dianggap penting karena untuk menjelaskan batasan-batasan antara ahl al-Kitāb dan yang lainnya. Qardawi berkesimpulan bahwa kesemua bentuk perkawinan yang disebutkan adalah diharamkan kecuali perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitāb , tetapi dengan syarat-syarat yang sangat ketat. 6. Buku Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, yang disusun oleh Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma'had 'Aly PP. Salafiyah Syāfi’iyyah Sukorejo Situbondo, dapat dimasukkan dalam kategori ini. Menurut TIM penulis buku ini, ahl al-Kitāb tidaklah termasuk agama Hindu, Budha dan Kong hu chu karena mereka tidak berpatokan kepada kitab samawi, oleh karenanya konsep ketuhanan mereka berbeda jauh. Ahl al-Kitāb adalah Yahudi dan Nasrani yang menurut Q.S. al-Mā’idah (5) ayat 5 wanita-wanita mereka boleh dikawini. Walaupun melihat gejala-gejala yang dapat ditimbulkan, Tim penulis buku ini berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitāb tetap diperbolehkan dengan merujuk kepada pendapat jumhur Ulama. Menurut Tim ini lagi, perkawinan dengan wanita ahl al-Kitāb dapat ditolerir karena dalam aspek teologi, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir dan prinsip-prinsip dasar agama banyak persamaan. 7. Sedangkan buku karangan Nurcholis Madjid yang berjudul Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah membahas satu bab tentang ahl al-Kitāb , lebih menekankan pada toleransi dan pengakuan Islam terhadap ahl al-Kitāb, dan tidak membahas tentang perkawinan beda agama. Akan tetapi, buku ini juga sangat membantu penulis dalam memahami ahl al-Kitāb. Menurut tokoh yang selalu disapa Cak Nur ini, al-Qur'an secara tegas menyebut Yahudi dan Nasrani sebagai ahl al-Kitāb karena memiliki kitab suci yang jelas. Adapun diluar keduanya, Cak Nur kemudian menguraikan pendapat Ibnu Taymiyah dan Muhammad Rasyid Rida tentang makna ahl al-Kitāb. Ia menyimpulkan bahwa pendapat kedua Ulama besar itu bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Oleh karenanya tidak tertutup kemungkinan menurut Cak Nur, ahl al-Kitāb tidak hanya sebatas pada Yahudi dan Nasrani. 8. Sedangkan buku karangan Nurcholis Madjid lainnya yang berjudul Fiqh Lintas Agama , yang sama sekali tidak apresiatif terhadap syariat. Dia mengatakan bahwa pernikahan lelaki non muslim dengan wanita muslimah adalah wilayah ijtihadī, sehingga akhirnya dia berani menelurkan sebuah hukum wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki non muslim atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan. Dia juga mengatakan pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. 9. KH. Sahal Mahfudz dalam “Tantangan Dakwah Kontemporer” . Menyatakan larangan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim sudah menjadi ijmā’. Dengan demikian dapat penulis katakan bahwa belum pernah terdapat satu Skripsi pun yang telah membahas tentang permasalahan yang akan penulis bahaskan nanti di STAI Al-Aziziyah Samalanga Bireuen, sehingga penulisan skripsi yang akan penulis paparkan nanti benar-benar orisinil, bukan hasil plagiat. B. Landasan Teori 1. Pengertian Ahl al-Kitāb Penjelasan tentang makna ahl al-Kitāb telah banyak dibahas dalam berbagai literatur-literatur keislaman, terutama dalam kitab-kitab Arab klasik maupun buku-buku yang berhubungan dengan sosial dan hukum kontemporer. Biasanya, penjelasan tentang makna ahl al-Kitāb secara panjang lebar, berhubungan dengan hukum perkawinan dengan wanita mereka dan siapa saja yang termasuk dalam cakupan golongan ini yang boleh dikawini. Ahl al-Kitāb terdiri dari dua kata ahl dan al-Kitāb . Kata ahl terdiri dari huruf alif, ha, dan lam, yang secara literer mengandung arti ramah, senang atau suka. Kata ini sering digunakan untuk menunjuk kepada kelompok yang memiliki hubungan nasab, agama, profesi, etnis dan komunitas. Atas dasar ini, ahl bisa menunjuk kepada hubungan yang didasarkan atas ikatan ideologi seperti ahl al-Islam yang menunjuk kepada penganut agama Islam. Kata ahl ditemukan penggunaannya secara bervariasi, tetapi secara umum makna yang dikandungnya dapat dikembalikan kepada pengertian kebahasaan. Misalnya menunjuk kepada suatu kelompok tertentu, seperti ahl al-Bayt yang ditujukan kepada keluarga nabi. Ahl juga dapat menunjuk kepada penduduk, keluarga dan penganut suatu paham dan pemilik ajaran tertentu. Sedangkan kata al-Kitāb yang terdiri dari huruf kaf, ta, dan ba, yang memiliki pengertian menghimpun sesuatu yang lain, seperti menghimpun kulit binatang untuk disamak dan menjahitnya. al-Kitāb kemudian diartikan tulisan, karena tulisan itu sendiri menunjukkan rangkaian dari beberapa huruf yang disebut lafaz. Disebut al-Kitāb karena ia merupakan himpunan dari beberapa lafaz, termasuk pula firman Allah SWT. yang diturunkan kepada rasul-Nya. Dengan demikian, terjemahan ahl al-Kitāb menunjuk kepada komunitas ataupun agama yang memiliki kitab suci yang diwahyukan Allah kepada rasul-Nya. 2. Biografi Fiqh Syāfi’iyyah Al-fiqh secara pribahasa etimologi sebagaimana yang dijelaskan oleh Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahallī al-Syāfi’ī adalah al-fahm yang artinya pemahaman terhadap sesuatu yang rumit ataupun yang mudah. Kata-kata al-fiqh lebih mendekati kepada rasional dan nalar pikiran, hal ini berbeda dengan ushūl al-fiqh yang merupakan dalil-dalil fiqh secara global ijmalī dan langkah sistematis atau metode dalam mengambil dalil-dalil fiqh yang bersifat rincian tafshilī yang mana fiqh tersebut digali dari dalil-dalil fiqh yang bersifat rincian atau detil itu. Sedangkan menurut terminologi ushūl al-fiqh, pengertian fiqh didefinisikan oleh al-Syaikh ‘Abd al-Hamid ibn Muhammad dalam kitabnya”Syarh Lathāif Al-Isyārāt, sebagai berikut: العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية. Artinya: "Ilmu tentang hukum-hukum Syara’ yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci". Syaikhul Islam Zakariyyā al-Anshārī dalam kitabnya ”Ghayat al-Wushūl” menyinggung sedikit mengenai definisi fiqh dengan redaksi berikut ini: علم بحكم شرعي عملي مكتسب من دليل تفصيلي. Artinya:”Pengetahuan terhadap hukum syara’ yang bersifat amaliah dan diperoleh dalinya yang terperinci. Jalal al-din Muhammad ibn Ahmad al-Mahallī juga mendefinisikan pengertian fiqh dalam kitab karangannya dengan redaksi yang berbeda namun tujuan yang sama, beliau mengutarakan sebagai beikut: الاحكام الشرعية التى طريقها الاجتهاد. Artinya:“Hukum syara’ yang berlandaskan ijtihad”. Karena ilmu fiqh merupakan ilmu hasil ijtihād, maka ia senantiasa bergerak sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan zaman, yang mungkin ada hal-hal baru yang dahulu tidak pernah terjadi dan baru sekarang ada. Tetapi karena tidak setiap orang boleh melakukan ijtihād, maka dibutuhkan sebuah pedoman yang akurat untuk diikuti oleh setiap orang, pedoman itu adalah berupa Madzhab fiqh. Berkenaan dengan sosok Imam Syāfi’ī sebagai ulama yang sangat populer dan karismatik dalam pandangan umat Islam di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, dapat diberikan sebuah gambaran tentang bagaimana beliau menjalani pengembaraan intelektualnya hingga menjadi pakar dalam bidang hukum Islam, beliau banyak belajar pada ulama-ulama terkemuka pada masa beliau hidup. Nama lengkap Imam Syāfi’ī adalah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Al-‘Abbās ibn‘Utsmān ibn Syāfi’ ibn As-Sa`ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd Muthallib ibn ‘Abd Manaf Al-Muthallib, anak pamannya Rasulullah SAW.. Beliau lahir pada tahun 150 H. Tepat pada pertengahan abad ke II Hijriayah di tanah Gazza, sebuah wilayah ‘Asqalan yang letaknya dekat dengan pantai lautan putih lautan mati sebelah tengah Palestina Syam, dan wafat di mesir pada tahun 204 H. Kampung halaman Imam Syāfi’ī–rahimahullah- adalah bukan di Gazza Palestina, tetapi di Mekkah Hijaz. Hanya saja ibu-bapak beliau datang ke Gazza untuk suatu keperluan, dan Imam Syāfi’ī ditakdirkan lahir di Gazza. Nenek moyang nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dimaklumi adalah Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Mutthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf ibn Qusyai ibn Kilab ibn Marah ibn Ka’ab ibn Luai ibn Ghalib ibn Fihir ibn Malik ibn Nadhar ibn Kinanah ibn khuzaiman ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Ma’ad ibn Adnan sampai kepada nabi Ismail as dan nabi Ibrahim as. Maka jelaslah bahwa silsilah Imam Syāfi’ī bertemu dengan silsilah nabi Muhammad SAW. Adapun dari pihak Ibu, Fatimah bint Abdullah ibn Hasan ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib RA. Ibu Imam Syāfi’ī adalah cucu dari cucu Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, menantu, sahabat nabi dan khalifah ke-4 yang terkenal. Sepanjang sejarah telah dikemukan bahwa Said ibn Abu Yazyd, kakek Imam Syāfi’ī ke-5 adalah sahabat nabi Muhammad SAW.. Jadi baik dilihat dari segi nasab maupun dari segi keturunan ilmu, maka Imam Syāfi’ī-rahimahullah- adalah kerabat nabi Muhammad SAW.. Gelar “al-Syāfi’ī” dari Imam Syāfi’ī-rahimahullah- diambil dari kakek ke-4 beliau yaitu Syāfi’ ibn Sayb. Imam Syāfi’ī mempelajari ilmu tafsir, fiqh dan hadis pada guru-gurunya yang banyak, yang negerinya di antara satu dengan yang lain berjauhan. Guru-guru Imam Syāfi’ī yang masyhur di antara lain di Mekah: Muslim ibn Khalid Al-Zanji, Ismail ibn Qusthantein, Sofyan ibn Ujainah, Sa’ad ibn Salim Al-Qaddah, Daud ibn Abdurrahman Al-Athar, Abdulhamid ibn Abdul Azizi. Di Madinah: Imam Mālikī ibn Anas, Ibrahim ibn Mas’ud Al-Anshari, Abdul Aziz ibn Muhammad Al-Darurdi, Ibrahim ibn Abi Yahya Al-Asaami, Muhammad ibn Sa’ad, Abdullah ibn Nafi’. Di Yaman: Mathrar ibn Mazir, Hisyam ibn Abi Yusuf Qadli Syam’a, Umar ibn Abi Salamah pembangun madzhab Al-Auza’i, Yahya ibn Hasan pembangun madzhab Leits. Di Iraq: Waki’ ibn Jarrah, Humad ibn Usamah, Ismail ibn Ulyah, Abdul Wahab ibn Abdul Majid, Muhammad ibn Hasan, Qadhi ibn Yusuf. Jadi fiqh Syāfi’iyyah adalah sebuah pedoman yang akurat untuk diikuti oleh setiap orang yang berpedoman kepada hasil ijtihad Imam Syāfi’ī dan ulama-ulama yang menganut Madzhab Imam Syāfi’ī. Sedangkan kata-kata Madzhab berasal dari bahasa Arab yang artinya jalan yang dilalui. Tetapi dalam istilah syari’at Islam berarti fatwa-fatwa atau pendapat seorang Imam mujtahid. Berdasarkan definisi di atas, maka madzhab Imam Syāfi’ī adalah fatwa-fatwa Muhammad ibn Idris dan sahabat-sahabatnya. Madzhab ini mulanya tumbuh di Iraq dan Mesir, kemudian tersiar luas di Iraq, Mesir, Khurasan, Yaman, Oman, Sudan, Somali, Syiria, Palestina, Philipina dll. Diantara semua aliran madzhab yang pernah muncul dalam Islam, hanya empat madzhab yang telah disepakati kesahihannya oleh manyoritas umat Islam, bahkan menurut Tajul Alam Safiyatuddin Syah Raja Aceh berkuasa dari tahun 1641 M. sampai 1675 M. Beliau mengutarakan dalam karyanya, Risalah Masā’il al-Muhtadin Li-Ikhwan al-Muhtadin yang sangat populer pada madrasah ibtidaiyah di Tanah Rencong Aceh yaitu: Termasuk salah satu fardhu dan kesempurnaan iman mengikut ijma’ segala sahabat yang empat dan Imam yang empat yaitu: Imam Syāfi’ī, Imam Hanafī, Imam Mālikī dan Imam Hanbalī. Dalam sejarah perjalanan, madzhab Syāfi’ī telah melalui beberapa periode. Pertama, periode persiapan dan pembentukan. Kedua, masa kelahiran madzhab Qadīm. Ketiga, pematangan dan penyempurnaan madzhab Qadīm. Keempat, penafsiran dan pengembangan madzhab. Kelima, kemapanan madzhab. Boleh dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah penganut madzhab Imam Syāfi’ī dengan jumlah kapasitas yang sangat besar. Madzhab Syāfi’ī adalah sebuah Madzhab yang didirikan oleh Muhammad ibn Idris al-Syāfi’ī ulama abad ke dua Hijriah. Dalam madzhab-nya memiliki dua pendapat yang berbeda, pendapat beliau yang lama yaitu ketika beliau berdomisili di Irak, disebut Qaul Qadīm, dan ada pula pendapat beliau yang baru setelah kepindahan beliau ke Mesir, disebut Qaul Jadīd. Selain itu diantara ulama madzhab Syāfi’ī juga terdapat perbedaan pendapat dalam memecahkan ranting fiqh. Dari paparan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh Syāfi’iyyah itu adalah produk hukum yang dihasilkan dari hasil ijtihād ulama Syāfi’iyyah yang berdasarkan pada Al-Qur’ān, Sunnah, ijma’ dan qiyās. 3. Biografi M. Quraish Shihab Terlahir dengan nama Muhammad Quraish Shihab pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Abdur Rahman Shihab 1905-1986 adalah alumni Jam'iyyat al-Khair Jakarta, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang mengedepankan gagasan-gagasan Islam modern. Sang ayah juga seorang Ulama tafsir, yang semasa hidupnya merupakan seorang cendikiawan terkemuka di Ujung Pandang, salah seorang pendiri Universitas Muslim Indonesia UMI di Ujung Pandang dan staf pengajar dengan jabatan Guru Besar Professor pada Institut Agama Islam Negeri IAIN Alauddin Ujung Pandang. Sang ayah juga pernah menjabat Rektor IAIN Alauddin Ujung Pandang. Jadi, sebutan "Shihab" adalah "nama keluarga". Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di daerah kelahirannya sendiri, ia kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil nyantri di Pondok Pesantren Dār al-Hadīts al-Fāqihiyyah di kota yang sama. Pada tahun 1958, dalam usia 14 tahun, Quraish meninggalkan Indonesia menuju Kairo, Mesir, untuk melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar. Keinginan untuk belajar di Kairo ini terlaksana atas bantuan beasiswa dari pemerintah daerah Sulawesi waktu itu wilayah Sulawesi belum dibagi menjadi Sulawesi Utara dan Selatan. Keputusan ini nampaknya merupakan sebuah obsesi yang sudah ia impikan sejak jauh sebelumnya, yang barangkali muncul secara evolutif dibawah bayang-bayang pengaruh ayahnya. Di al-Azhar, ia diterima di kelas II Tsanawiyah. Di lingkungan al-Azhar inilah untuk sebagian besar karir intelektualnya dibina dan dimatangkan selama lebih kurang 11 tahun. Mesir dengan Universitas al-Azharnya, selain sebagai pusat gerakan pembaharuan Islam, juga merupakan tempat yang tepat untuk studi al-Qur'an. Sejumlah tokoh seperti Muhammad 'Abduh dan Rasyid Rida adalah mufassir kenamaan yang "dibesarkan" di Mesir. Tak heran jika banyak peminat studi keIslaman pada waktu itu, dan juga saat ini, memilih Mesir sebagai tempat studi dan pusat pembelajaran ilmu-ilmu keIslaman. Pada tahun 1967, dalam usia 23 tahun, ia berhasil meraih gelar Lc (Licence) atau setingkat dengan Sarjana Strata Satu, pada Fakultas Usuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar Kairo, dan kemudian melanjutkan studinya pada fakultas yang sama. Dua tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1969, ia berhasil meraih gelar M.A (Master of Art) dalam spesialisasi bidang Tafsir al-Qur'an, dengan tesis berjudul al-I'jāz al-Tasyrī' li al-Qur'an al-Karīm. Pilihan untuk menulis tesis mukjizat ini bukanlah suatu kebetulan, tetapi didasarkan pada pengamatannya terhadap realitas masyarakat muslim. Menurutnya, gagasan tentang kemu'jizatan al-Qur'an di kalangan masyarakat muslim telah berkembang sedimikian rupa sehingga sudah tidak jelas lagi, apa itu mukjizat dan apa itu keistimewaan al-Qur'an. Mukjizat dan keistimewaan al-Quran menurut Quraish merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keduanya masih sering dicampuradukkan bahkan oleh kalangan ahli tafsir sekalipun. Setelah menyelesaikan studi Masternya, Quraish kembali ke daerah asalnya Ujung Pandang. Disini ia dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor Bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Ujung Pandang. Selain itu, ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur, maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama masa karirnya sebagai dosen pada priode pertama di IAIN Alauddin Ujung Pandang, Quraish telah melakukan beberapa penelitian, antara lain penelitian tentang "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" 1975 dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" 1978. Selama priode pertama tugasnya sebagai staf pengajar di IAIN Alauddin Ujung Pandang, Quraish belum menunjukkan produktivitas yang tinggi dalam melahirkan karya tulis. Sepuluh tahun lamanya Quraish mengabdikan dirinya sebagai staf pengajar di IAIN Alauddin Ujung Pandang dan mendarma-baktikan ilmunya kepada masyarakat. Meskipun ia telah menduduki sejumlah jabatan, semangat Quraish untuk melanjutkan pendidikan tetap menyala-nyala. Ayahnya selalu berpesan agar ia berhasil meraih gelar doktor. Karena itu, ketika kesempatan untuk melanjutkan studi itu datang, tepatnya pada tahun 1980, Quraish kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di almamaternya Universitas al-Azhar. Dua tahun lamanya ia menimba ilmu di Universitas Islam tertua itu, dan pada tahun 1982, dengan Disertasi berjudul Nazm al-Durār li al-Biqā'i: Tahqīq wa al-Dirāsah, ia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur'an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan Tingkat Pertama. Perlu dicatat, Quraish adalah orang Asia Tenggara pertama yang menyandang predikat ini. Setelah berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur'an di Universitas al-Azhar, Quraish kembali ke tempat tugas semula, mengajar di IAIN Alauddin Ujung Pandang. Dalam masa tugasnya pada priode kedua di IAIN Alauddin Ujung Pandang ia menulis karya berjudul Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya, Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984. Tidak sampai dua tahun di IAIN Alauddin Ujung Pandang, pada tahun 1984 ia hijrah ke Jakarta dan ditugaskan pada Fakultas Ushuluddin dan Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan, seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia MUI Pusat Sejak 1984, Anggota Badan Lajnah Pentashih al-Qur'an Departemen Agama Sejak 1989, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional Sejak 1989, dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dalam organisasi-organisasi profesi, ia duduk sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan ketika Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia ICMI berdiri, Quraish dipercaya menduduki jabatan sebagai asisiten ketua umum. Di sela-sela kesibukannya sebagai staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah dan jabatan-jabatan di luar kampus itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan diskusi dan seminar, di dalam maupun di luar negeri. Kemudian sejak 1995, Quraish mendapat kepercayaan untuk menduduki jabatan Rektor di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jabatan ini jelas merupakan posisi strategis untuk merealisasikan gagasan-gagasannya. Adapun pada jabatan struktural pemerintahan, Quraish pernah dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai Menteri Agama pada kabinet Pembangunan VII. Tetapi kabinet itu hanya bertahan dua bulan dan jatuh pada tanggal 21 Mei 1998. Pada tahun 1999, pada kabinet Presiden 'Abdurrahman Wahid, ia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Mesir. Menurut Howard M. Frederspiel, kondisi di atas menjadikan Quraish terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang-pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular Indonesia of the Qur'an. BAB III MAKNA AHL AL-KITĀB DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM PERKAWINAN STUDI ANALISIS FIQH SYĀFI'IYYAH DAN PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB Al-Qur'an dan nabi Muhammad SAW. menamakan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai ahl al-Kitāb untuk membedakan mereka dengan para penyembah berhala, yakni orang-orang musyrik, dan orang-orang kafir lainnya, karena kepada keduanya diturunkan kitab suci yakni Taurat dan Injil. Keterangan ini menunjukkan bahwa secara sosio-historis, kontak antara umat Islam dengan ahl al-Kitāb sudah terjalin sejak nabi Muhammad SAW. dibangkitkan menjadi rasul. Tetapi kontak tersebut baru berjalan intensif, khususnya dengan kaum Yahudi, setelah rasulullah SAW. hijrah ke Madinah. Perbedaan antara orang Islam dengan ahl al-Kitāb adalah soal keyakinan mereka tentang kenabian Muhammad SAW. Orang Islam meyakini dan mengakui kenabian dan kerasulan Muhammad SAW., juga mengakui nabi-nabi dan rasul-rasul yang dipercayai ahl al-Kitāb, sedangkan ahl al-Kitāb tidak meyakini kenabian dan kerasulan Muhammad, mereka hanya meyakini nabi-nabi yang diutus kepada mereka. Oleh karena mereka tidak mengakui nabi Muhammad SAW. sebagai utusan Allah SWT, maka mereka juga tidak mengakui al-Qur'an sebagai kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Ini adalah akibat dari para pendeta ahl al-Kitāb yang mengubah isi kitab Taurat dan Injil. Padahal, tersebut dalam kedua kitab suci itu nama nabi Muhammad SAW. sebagai rasul terakhir. Berbeda dengan nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya yang hanya di utus untuk kaumnya saja, nabi Muhammad SAW. diutus bukan untuk kaumnya saja, yaitu suku Quraish atau masyarakat Arab, tetapi untuk seluruh umat manusia, rahmatan li al-'alamin. Al-Qur'an menginformasikan, bahwa nabi 'īsā AS. mengajak penganut agama Yahudi untuk mengikuti ajaran yang dibawanya, karena ajaran agama nabi 'īsā AS. tersebut merupakan kelanjutan dari ajaran agama yang dibawa nabi Mūsā AS. dan sekaligus menginformasikan tentang akan datangnya nabi Muhammad SAW. sesudah beliau. Karenanya, nabi Mūsā AS. yang membawa agama Yahudi dan nabi 'īsā yang membawa agama Nasrani, juga diakui oleh umat Islam sebagai utusan Allah. Dari sini terlihat bahwa penganut agama Yahudi dan Nasrani mempunyai persambungan akidah atau mempunyai sumber ajaran yang sama dengan umat Islam. Agama Islam adalah kelanjutan, pembetulan dan penyempurnaan bagi agama Yahudi dan Nasrani. Sebab inti ajaran yang disampaikan Allah kepada nabi Muhammad SAW. adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan oleh-Nya kepada semua nabi, termasuk kepada nabi Mūsā AS. dan 'īsā AS., yaitu ajaran tauhid. Kesimpulannya ialah sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Allah SWT. adalah pemeluk agama yang tunggal. Tetapi pembetulan dan penyempurnaan selalu diperlukan dari waktu ke waktu, sampai akhirnya tiba saat tampilnya nabi Muhammad SAW. sebagai penutup para nabi dan rasul, karena menurut al-Qur'an, ajaran-ajaran kebenaran itu dalam proses sejarah mengalami berbagai bentuk penyimpangan. Pembicaraan al-Qur'an tentang ahl al-Kitāb menunjukkan tingginya toleransi Islam kepada umat manusia. Islam mengakui tuhan Yahudi dan Nasrani sebagai Tuhannya sendiri dan mengakui nabi-nabi kedua agama ini sebagai nabi-nabinya sendiri. Islam memandang Yerussalem sebagai tempat suci, sebagaimana Yahudi menjadikannya juga sebagai tempat suci. Kemudian Islam mengakui keberadaan ahl al-Kitāb sebagai penganut agama samawi, meskipun dalam hal-hal tertentu mereka juga dikecam sebagai akibat sikap mereka yang memusuhi Islam -meskipun ada juga yang bersikap baik terhadap Islam- dan pelanggaran mereka terhadap ajaran dan kitab suci yang pernah diturunkan Allah SWT. melalui nabi dan rasul kepada mereka. Agama Islam adalah agama yang pertama kali memperkenalkan pandangan tentang toleransi beragama dengan konsep ahl al-Kitāb. Konsep ahl al-Kitāb adalah konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama di luar Islam yang memiliki kitab suci. Sikap ini tidaklah memandang semua agama sama, akan tetapi sikap Islam ini bermaksud memberi pengakuan sebatas hak masing-masing untuk bereksistensi dengan kebebasan menjalankan agama mereka masing-masing. Konsep tentang ahl al-Kitāb ini berdampak pada kemajuan budaya dan peradaban Islam dengan cara membuka peluang munculnya kosmopolitanisme dan tata masyarakat yang terbuka dan toleran. Dalam hal ini, kebolehan perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitāb adalah salah satu bentuk toleransi Islam terhadap ahl al-Kitāb . A. Ahl al-Kitāb Menurut Fiqh Syāfi'iyyah Pada dasarnya antara orang muslim dan ahl al-Kitāb mempunyai akidah yang sah mengenai Allah SWT., walaupun berbeda tafsirannya selagi mereka tidak berkeyakinan bahawa Tuhan Allah SWT. itu adalah al-Masih putera Maryam, dan tidak meyakini atau tidak menyatakan dengan lisan atau tulisan bahawa Allah itu satu di antara tiga tuhan. Jika mereka mempunyai kepercayaan dan meyakini hal-hal tersebut di atas, al-Qur’an menjelaskan mereka itu termasuk ke dalam golongan kaum kafir. Dalam hal pemahaman tentang ahl al-Kitāb ulama Syāfi'iyyah memiliki berbagai corak pendapat terkait dengan makna dan hukum dalam perkawinan di mana masing-masing mereka mempunyai argumen yang berbeda baik berupa nash Al-Qur’an dan hadis ataupun lain sebagainya yang dijadikan sebagai landasan hukum. Abī Zakariyyā Al-Ansharī memaknai ahl al-Kitāb dengan Yahudi dan Nasrani sesuai dengan pernyataannya : والكتابية يهودية أو نصرانيةلقوله تعالى " أن تقولوا إنما أنزل الكتاب على طائفتين من قبلنا " Artinya : Ahl al-Kitāb adalah Yahudi dan Nasrani karena firman Allah “bahwa kalian katakan, hanyasanya diturunkan al-Kitāb kepada dua golongan sebelum kita”. Dalam kitab Manhaj Thullāb disebutkan : فصل لا يحل نكاح كافرة إلا كتابية خالصة بكره والكتابية يهودية أو نصرانية Artinya : Ini sebuah fashal, tidak halal menikahi wanita kafir kecuali ahl al-Kitāb yang murni. ahl al-Kitāb adalah Yahudi dan Nasrani. Pernyataan disini jelas dapat kita fahami bahwa yang dimaksud dengan ahl al-Kitāb adalah Yahudi dan Nasrani. Dan yang boleh dinikahi adalah Yahudi dan Nasrani yang murni. Ungkapan tersebut sedikit berbeda dengan yang tertera dalam kitab Hāsyiat al-Syarqāwī ‘Alā tuhfat al- Thullāb: وهي إسرائيلية حلت لنا قال تعلى وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ أي حل لكم . والمراد من الكتاب التورة والإنجيل دون سائر الكتب قبلهما كصحف شيث وإدريس وإبراهيم عليهم الصلاة والسلام لأنها لم تنزل بنظم يدرس ويتلى, وإنما أوحى إليهم معانيها, وقيل لأنها حكم و مواعظ لا أحكام و شرائع, Artinya : “Yang dimaksud dengan wanita ahl al-Kitāb yang masih murni, adalah wanita Bani Israil. Ia halal bagi kita sebagaimana firman Allah SWT. : “ dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang memiliki kehormatan di antara orang-orang yang di beri al-Kitāb sebelum kamu...”Yang dimaksud dengan al-Kitāb, adalah Taurat dan Injil, dan bukan kitab-kitab yang lain sebelumnya, seperti suhuf nabi Syits, Idris dan Ibrahim AS., karena kitab-kitab tersebut tidak diturunkan secara teratur sistematik, dan bisa dipelajari ataupun dibaca. Para nabi tersebut hanya diberi wahyu tentang pengertian-pengertiannya saja, atau karena kitab-kitab tersebut hanya memuat kata hikmah dan nasehat-nasehat, dan tidak memuat hukum-hukum syariat.” Nyata dalam diskripsi di atas bahwa ahl al-Kitāb yang murni adalah keturunan Bani Israil. Hal tersebut didukung oleh nash karena yang dimaksud dengan ahl al-Kitāb adalah mereka yang diberikan kitab Taurat dan Injil bukan kitab-kitab yang lain sebelumnya karena selain Zabur dan Injil tidak diturunkan secara teratur sistematik dan kitab-kitab terdahulu tersebut hanya memuat kata-kata hikmah, nasehat-nasehat, dan tidak memuat hukum-hukum syariat. Ungkapan tersebut senada dengan apa yang diterangkan dalam I’ānat al-Thālibīn: ويشترط فيها أن تكون يهودية أو نصرانية والأولى هي المتمسكة بالتوراة والثانية هي المتمسكة بالإنجيل وأما إذا لم تكن كذلك كالمتمسكة بزبور داود ونحوه كصحف شيث وادريس وابراهيم عليه الصلاة والسلام فلا تحل لمسلم قيل لأن ذلك لم ينزل بنظم يدرس ويتلى وإنما أوحي إليهم معانيه وقيل لأن حكم ومواعظ لا أحكام وشرائح Artinya : Dan disyaratkan pada ahl al-Kitāb bahwa dia seorang Yahudi atau Nasrani, yang pertama pemegang kitab Taurat dan yang kedua pemegang kitab Injil, adapun apabila tidak seperti demikian seperti pemegang Zabur Daud dan seumpamanya seperti suhuf nabi Syits, Idris dan Ibrahim AS., maka tidak dihalalkan menikahi mereka bagi muslim, terdapat yang menyatakan karena kitab-kitab tersebut tidak diturunkan secara teratur sistematik, dan bisa dipelajari ataupun dibaca. Para nabi tersebut hanya diberi wahyu tentang pengertian-pengertiannya saja, dan sebagian lainnya mengatakan karena kitab-kitab tersebut hanya memuat kata hikmah dan nasehat-nasehat, dan tidak memuat hukum-hukum dan penjelasan-penjelasan agama.” Pernyataan di atas menjelaskan bahwa ahl al-Kitāb adalah Yahudi dan Nasrani, hanya saja disini dalam bentuk penegasan bahwa disyaratkan ahl al-Kitāb seorang Yahudi atau Nasrani. Yahudi dan Nasrani yang dimaksud adalah pemegang kitab Taurat dan Injil. Sedangkan pemegang kitab selain Taurat dan Injil tidak termasuk ahl al-Kitāb. Pernyataan semua ulama Syāfi'iyyah di atas tetap tidak terlepas dari pengetahuan bahwa nenek moyang ahl al-Kitāb tersebut telah berkeyakinan dengan ajaran ahl al-Kitāb sebelum penghapusan syariatnya. هذا إن لم تدخل أصولها في ذلك الدين بعد نسخه سواء أعلمت القبلية أم شك فيها لتمسكهم بذلك الدين حين كان حقا, وإلا فلا تحل لسقوط فضيلة ذلك الدين Artinya : Perkawinan sah jika nenek moyang wanita-wanita kafir ahl al-Kitāb tersebut tidak memeluk agama ahl al-Kitāb sesudah adanya penghapusan, sama saja apakah telah mengetahui keadaan sebelumnya ataupun menragukannya, mengingat keteguhan mereka dengan agama tersebut ketika masih dibenarkan, jika bukan karena demikian maka tidak dibolehkan. Sedangkan dalam Minhāj Imam al-Nawāwī menjelaskan bahwa: وَتَحِلُّ كِتَابِيَّةٌ لَكِنْ تُكْرَهُ حَرْبِيَّةٌ وَكَذَا ذِمِّيَّةٌ عَلَى الصَّحِيحِ، وَالْكِتَابِيَّةُ يَهُودِيَّةٌ أَوْ نَصْرَانِيَّةٌ لَا مُتَمَسِّكَةٌ بِالزَّبُورِ وَغَيْرِهِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ الْكِتَابِيَّةُ إسْرَائِيلِيَّةً فَالْأَظْهَرُ حِلُّهَا إنْ عُلِمَ دُخُولُ قَوْمِهَا فِي ذَلِكَ الدِّينِ قَبْلَ نَسْخِهِ وَتَحْرِيفِهِ، وَقِيلَ يَكْفِي قَبْلَ نَسْخِهِ . Artinya : Dan dihalalkan ahl al-Kitāb tetapi dimakruhkan yang harbī. Dan begitu juga yang dzimmī berdasarkan pendapat kuat. Dan yang dimaksud ahl al-Kitāb adalah Yahudi dan Nasrani bukan pemegang Zabur dan lainnya. Maka jika ahl al-Kitāb bukanlah keturunan Bani Israil maka berdasarkan pendapat kuat dibolehkan menikahinya jika diketahui kaumnya telah memeluk Yahudi dan Nasrani sebelum penghapusan dan perpalingan ajaran tersebut. Dan ada pendapat yang menyatakan cukup sebelum perpalingan. Pernyataan dalam Minhāj di satu sisinya sedikit memperluas makna ahl al-Kitāb, sedangkan disisi lainnya mempersempit karena disini dinyatakan bahwa ahl al-Kitāb yang boleh dinikahi adalah yang bukan Harbī , bahkan ahl al-Kitāb yang Dzimmī pun dimakruhkan. Namun disisi lainnya terdapat perluasan makna ahl al-Kitāb yaitu bolehnya menikahi wanita yang bukan keturunan Bani Israil, walaupun dengan ketentuan bahwa kaum si wanita telah memeluk agama ahl al-Kitāb semenjak agama tersebut masih diakui dan tidak dihapus pensyari'atannya. Pernyataan tersebut berbeda dengan ungkapan yang terdapat dalam al-Lubab: والخامس : أن تكون كتابية، وهي أربعة: اليهود، والنصارى، والصابئون،والسّامرة، فيجوز نكاحها للمسلم إلا في ثلاث مسائل. أحدها: أن تكون من غير بني إسرائيل.والثانية: أن تكونقد اعتقدت ذلك الدين بعد التبديل.والثالثة: أن تكون قد اعتقدت بعد مبعث النبي صلى الله عليهوسلم. Artinya : Dan yang kelima, wanita kafir adalah ahl al-Kitāb. Ahl al-Kitāb terbagi 4 : Yahudi, Nasrani, Shābiūn dan Sāmirah, Maka dibolehkan menikahi ahl al-Kitāb bagi muslim kecuali dengan tiga masalah. Pertama ahl al-Kitāb bukan keturunan Bani Israil. Kedua meyakini ajaran tersebut setelah penggantian. Ketiga meyakini agama tersebut setelah kebangkitan nabi SAW. Pernyataan tersebut memperluas makna ahl al-Kitāb dengan mencakup Shābiūn dan Sāmirah walaupun terdapat pensyaratan bahwa ahl al-Kitāb tersebut mestilah yang keturunan Bani Israil, meyakini ajaran tersebut sebelum penghapusan dan sebelum kebangkitan nabi SAW. Untuk perpindahan agama dalam kategori ahl al-Kitāb disini akan terjadi perselisihan pendapat juga. Bukan berarti ahl al-Kitāb yang mencakup makna-makna tersebut tidak mempengaruhi perpindahan agama sesamanya. فإن انتقلت من يهودية إلى نصرانية أو من نصرانية إلى يهودية ففيه ثلاثة أقاويل:أحدها: لا يُقبل منها إلا الإسلام أو السّيف.والثاني: تُقرّ على دينها.والثالث: إما أن تسلم أو ترجع إلى دينها. . Artinya : Jika berpindah dari Yahudi ke Nasrani atau dari Nasrani ke Yahudi maka terdapat tiga pendapat. Pertama tidak diterima keyakinannya kecuali Islam atau diperangi. Yang kedua tetap berdasarkan agamanya. Yang ketiga diIslamkan atau dikembalikan ke agama asalnya. Dari ungkapan yang terdapat dalam al-Lubab dimengerti bahwa diantara agama ahl al-Kitāb tidak dibolehkan saling berpindah kecuali berpindah ke Islam. Permasalahan perpindahan agama ahl al-Kitāb juga terdapat dalam redaksi lain yang disebutkan secara panjang lebar : أو وهي غير إسرئيلية حلت لما مر إن علم دخولهم في ذلك الدين قبل نسخه ولو بعد تبديله إن تجنبوا المبدل و إلافلا تحل لما مر وأخذا بالأغلظ فيما إذا شك في الدخول المذكور. وتعبيري بما ذكر هو مراد الأصل بما عبر به فتحل اليهودي والنصرانية بالشرط المذكور في إسرائيلية و غيرها و كذا السامرة و الصابئة إن وافقتا اليهود و النصارى في أصل دينهم وإن لم توافقاهم في فروعه فإن خلفتاهم في أصل دينهم حرمتا. وهذا التفصيل هو ما نص عليه الشافعي في مختصر المزني, و عليه حمل إطلقه في موضع بالحل و في أخر بعدمه والمنتقل من دينه لأخر كيهودي أو وثني تنصر فهو أعم من قوله من تهود إلى تنصر و عكسه . لا يقبل منه إلا الإسلام لأنه أقر ببطلان ماانتقل عنه وكان مقرا ببطلان ماانتقل إليه. Artinya : Sah menikahi wanita Yahudi dan Nasrani dengan syarat yang telah disebutkan perihal wanita Israel dan lainnya di atas, demikian pula dengan wanita Sāmirah dan Shābiūn jika keduanya bersepakat dengan Yahudi dan Nasrani dalam ajaran pokok agama mereka, walaupun keduanya tidak sepakat dalam hal-hal yang tidak bersifat prinsip. Jika keduanya berbeda dalam ajaran pokok agama Yahudi dan Nasrani, maka keduanya haram untuk dinikahi. Semua perincian ini adalah sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syāfi'ī sebagaimana tertera dalam Mukhtashar al-Muzānī. Bagi orang yang pindah agama, seperti orang Yahudi atau penyembah berhala menjadi Nasrani atau sebaliknya, maka tidak akan diterima kecuali Islam. Hal ini karena ia telah mengakui ketidakbenaran agama yang ditinggalkannya itu dan mengakui pula ketidakbenaran agama baru yang dipeluknya. Disini jelas Imam Abī Zakariyyā mengurai pernyataan sahnya menikahi wanita Sāmirah dan Shābiūn dengan syarat yang telah disebutkan perihal wanita Israil dan lainnya di atas jika keduanya bersepakat dengan Yahudi dan Nasrani dalam ajaran pokok agama mereka, walaupun keduanya tidak sepakat dalam hal-hal yang tidak bersifat pedoman agama. Jika keduanya berbeda dalam ajaran pokok agama Yahudi dan Nasrani, maka keduanya haram untuk dinikahi. Dan bagi orang yang pindah agama, seperti orang Yahudi atau penyembah berhala menjadi Nasrani atau sebaliknya, maka tidak akan diterima kecuali perpindahan ke Islam. Hal ini karena ia telah mengakui ketidakbenaran agama yang ditinggalkannya itu dan terlebih dahulu mengakui pula ketidakbenaran agama baru yang dipeluknya. B. Ahl al-Kitāb Menurut M. Quraish Shihab Yahudi dan Nasrani adalah dua kelompok agama yang diakui mempunyai kitab suci, yang walaupun kitab suci mereka diyakini oleh umat Islam telah diubah, minimal disepakati oleh para ulama sebagai golongan ahl al-Kitāb. Meskipun demikian, walaupun Islam mempunyai kitab suci sebagaimana halnya Yahudi dan Nasrani, al-Qur'an tidak menunjuk penganut agama Islam sebagai ahl al-Kitāb. Pemaknaan ahl al-Kitāb sebatas pada Yahudi dan Nasrani, juga disepakati oleh M. Quraish Shihab. Menurut Quraish, ahl al-Kitab itu mencakup dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani, kapan, dimanapun dan dari keturunan siapa pun mereka. Tentunya pendapat Quraish tentang makna ahl al-Kitab ini akan membawa implikasi kepada siapakah golongan yang dibolehkan atau diharamkan dinikahi pria muslim. Tidak hanya itu, sisi baik buruk ahl al-Kitab juga akan menentukan kebolehan perkawinan dengan wanita mereka. Sesuai dengan teks zhahir al-Qur’an suat al-Ma'idah (5) ayat 5, Quraish membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitab. Kebolehan ini menurutnya adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, dimana kaum muslim sering berpergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, dan sekaligus juga untuk tujuan dakwah. Selain itu, kebolehan itu adalah bentuk toleransi Islam kepada agama ahl al-Kitab dalam bentuk perkawinan, karena pria muslim mengakui kenabian 'īsā yang dituhankan oleh ahl al-Kitab. Walaupun membolehkan, tetapi tetap ada kekhawatiran dalam dirinya terhadap keberlangsungan dari perkawinan ini. Quraish menyebutkan bahwa jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya dan bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman, ketidakharmonisan dan kegagalan perkawinan. Kalau ini kemudian terjadi, tentunya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu menciptakan keluarga yang sakinah. M. Quraish Shihab membatasi makna ahl al-Kitāb pada golongan Yahudi dan Nasrani saja, namun tidak membatasi kapan, dimanapun dan dari keturunan siapapun mereka. Hal ini berarti, pertama, seseorang yang menganut agama ahl al-Kitāb sebelum al-Qur'an diturunkan maupun sesudahnya, sebelum mengalami perubahan maupun setelah mengalami perubahan, termasuk dalam kategori ahl al-Kitāb, kedua, kelompok ahl al-Kitāb ini tidak hanya sebatas di jazirah Arab saja, di tempat para nabi diutus oleh Allah, tetapi juga termasuk mereka yang berada di luar jazirah Arab. Menurut Quraish, orang-orang Yahudi di Israel, dan di manapun mereka berada, begitu juga orang-orang Nasrani di Indonesia dan di manapun mereka berada sekarang ini adalah termasuk ahl al-Kitāb, ketiga, walaupun agama Yahudi dan Nasrani pada awalnya hanya diperuntukkan bagi orang-orang Israel, tetapi ia tetap memasukkan orang-orang di luar etnis Israel, yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sebagai ahl al-Kitāb . Walaupun sama-sama membatasi makna ahl al-Kitāb sebatas pada Yahudi dan Nasrani saja, pendapat Quraish ini berbeda dengan pendapat ulama madzhab Syāfi'iyyah yang memaknakan ahl al-Kitāb hanya kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari keturunan Bani Israil. Jikapun bukan dari keturunan Bani Israil maka mereka mesti diketahui telah berpegang dengan ajaran ahl al-Kitāb sebelum penghapusan. Pendapat ulama madzhab Syāfi'iyyah ini lebih mengacu pada tataran etnis, sedangkan pemaknaan ahl al-Kitāb menurut Quraish lebih pada tataran teologis. Mengenai penganut agama Budha, Hindu, Kong Hu Chu dan lainnya, Quraish tidak secara tegas menyebutkan apakah mereka termasuk musyrik atau tidak. Orang-orang musyrik adalah mereka yang percaya pada adanya Tuhan, tetapi tidak percaya pada kitab suci dan tidak percaya pada salah seorang nabi. Menurut Wahbah al-Zuhaylī, orang musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah SWT., seperti penyembah berhala, penyembah binatang, kafir zindiq, orang-orang murtad, pemeluk politeisme, animisme, dinamisme dan ateisme. Sedangkan menurut Yusuf Qardawi, orang musyrik adalah orang yang masih mempercayai adanya Allah meskipun dia menyekutukan-Nya dengan sembahan-sembahan dan tuhan-tuhan lain yang dianggap dapat memberi syafā'at serta menurut anggapannya sembahan-sembahan itu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Sesuai dengan firman Allah SWT. Al-Qur’an surat Luqman (31) ayat 25 yang menceritakan keadaan orang musyrik: ولئن سالتهم من خلق السموات والارض ليقولن الله.... Artinya : “Dan sungguh, jika engkau Muhammad tanyakan kepada mereka, “siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab, “Allah”. Dalam hal larangan perkawinan seorang pria muslim dengan wanita musyrik dan sebaliknya, Quraish mengartikan orang-orang yang berbuat syirik adalah orang-orang yang mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Menurut Quraish, dalam pandangan agama, seorang musyrik adalah seorang yang percaya bahwa ada tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan satu aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah dan kedua kepada selain-Nya. Dengan demikian, semua yang mempersekutukan-Nya dari sudut pandang tinjauan ini adalah musyrik. Orang-orang Kristen yang percaya pada trinitas adalah musyrik dari sudut pandang ini. Namun demikian, pakar-pakar al-Qur'an yang kemudian melahirkan pandangan hukum, mempunyai pandangan lain. Menurut pengamatan mereka, kata musyrik atau musyrikīn atau musyrikāt digunakan al-Qur'an untuk kelompok tertentu yang mempersekutukan Allah. Mereka adalah para penyembah berhala, yang ketika turunnya al-Qur'an masih cukup banyak, khususnya yang bertempat tinggal di Makkah. Pendapat ini juga dipegang oleh beberapa pakar tafsir al-Qur'an seperti Tabataba'ī dan Rasyid Rida. Merujuk kepada pendapat Quraish bahwa ahl al-Kitāb adalah termasuk Yahudi dan Nasrani kapan, dimana pun, dan dari keturunan siapa pun mereka, yang dulu ketika al-Qur'an diturunkan dikhithab sebagai ahl al-Kitāb, maka dapat dinyatakan pula bahwa yang termasuk musyrik menurut Quraish adalah para penyembah berhala, dimulai ketika al-Qur'an diturunkan sampai sekarang, baik di Makkah atau di luar Makkah atau dimana pun mereka berada dan dari keturunan siapa pun mereka. Dalam hal ini, apabila ada orang Israel (ahl al-Kitab) yang melenceng dari ajaran agamanya sehingga menyembah berhala, juga masuk dalam kategori musyrik, bukan ahl al-Kitab. Apabila mereka dipandang sebagai penyembah berhala, yang tidak mempunyai kitab suci dan tidak mempercayai salah seorang rasul, mereka termasuk dalam kategori musyrik. Tetapi yang pasti, menurut Quraish, mereka semua tidak termasuk ahl al-Kitāb. Meskipun orang-orang ahl al-Kitāb dalam hal ini termasuk melakukan perbuatan syirik, akan tetapi menurut Quraish, mereka tidak termasuk musyrik karena al-Qur'an membedakan keduanya. Hal yang harus selalu diperhatikan ialah, walaupun penganut agama Budha, Hindu, Konghuchu, dan lainnya tidak termasuk ahl al-Kitāb, mereka semua tetap diperlakukan sama dengan ahl al-Kitāb karena Islam sangat mengedepankan prinsip toleransi. Ini berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwaththa', bab zakat, yang menyatakan "perlakukanlah mereka sama dengan perlakuan terhadap ahl al-Kitāb". Sementara sebagian ulama menyisipkan sebagian redaksi: "tanpa memakan sembelihan mereka dan tidak juga mengawini wanita mereka". Akan tetapi, sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadis yang disebut di atas berstatus mursal, yakni sahabat nabi yang mendengar atau menerima hadis tersebut dari nabi tidak disebut dalam rentetan transmisi riwayatnya. Perlakuan yang dimaksud hadis tersebut adalah perlakuan terhadap mereka karena berada dalam kekuasaan pemerintah Islam. Bahwa selain ahl al-Kitāb, yaitu orang-orang Majusi, Shābi'un dan yang lainnya, tetap diperlakukan sama dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan negara, dan lain-lain, dengan ahl al-Kitāb. Sebagai imbangan dari perlakuan ini, mereka diharuskan membayar jizyah atau pajak, dan oleh karenanya mereka selalu disebut ahl al-Dzimmah. C. Implikasi Pemaknaan Ahl al-Kitāb terhadap hukum perkawinan Secara teori ketika menanggapi masalah perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitāb, ulama madzhab Syāfi'iyyah maupun M. Quraish Shihab berpendapat sama bahwa perkawinan ini dibolehkan. Kebolehan ini berdasarkan penafsiran terhadap teks zhahir ayat yang secara eksplisit membolehkannya. Pada masalah ini dapat difahami dengan menggunakan kaidah kebahasaan. Baik ulama Syāfi'iyyah maupun Quraish menyatakan bahwa ayat ini berdiri sendiri dan tidak dinasakh oleh ayat manapun dan menolak pendapat yang mengatakan bahwa ahl al-Kitāb termasuk dalam kategori musyrik, walaupun kenyataannya mereka berbuat syirik. Perbedaan itu dipahami dari ayat-ayat dalam al-Qur'an yang menggandengkan antara ahl al-Kitāb dan musyrik dalam penyebutan, dengan kata penghubung huruf waw 'ataf, yang berfungsi untuk menghimpun dua hal yang berbeda. Dari keterangan ini, bukanlah pada tempatnya seorang memasukkan ahl al-Kitāb dalam kategori musyrik, setelah al-Qur'an sendiri membedakan keduanya. Selain itu, juga terdapat dalil yang menyatakan bahwa ada dan bahkan sekian banyak dari para sahabat dan tabiin yang menikahi wanita ahl al-Kitāb. Banyaknya para sahabat dan tabiin yang menikahi wanita ahl al-Kitāb menunjukkan bahwa perkawinan ini memang dibolehkan. Karena para sahabat dan tabiin dikenal sebagai sebaik-baik generasi yang tidak akan melakukan suatu perbuatan hukum yang dilarang oleh agama. Menurut hemat penulis, kebolehan ini juga didukung oleh kondisi atau keadaan sosial masyarakat ketika itu. Ketika itu, peran suami sebagai kepala rumah tangga lebih besar karena kewajiban-kewajiban yang diembannya -disamping tentunya peran istri juga tak kalah pentingnya dalam kehidupan berumah tangga karena keduanya saling melengkapi- sehingga peran istri yang ahl al-Kitāb untuk mempengaruhi suaminya yang muslim sangat kecil. Disamping itu, perluasan wilayah Islam juga mendukung dibolehkannya perkawinan ini. Para sahabat dan tabiin sering berpergian ke wilayah kekuasaan ahl al-Kitāb untuk menyebarkan ajaran Islam, yang karenanya, mereka tidak menemukan wanita-wanita muslim untuk dijadikan istri. Atas dasar ini, kebolehan itu tidak dapat dipertentangkan. Hal demikian akan sangat berbeda keadaannya dengan kondisi sosial masyarakat pada saat ini. Menurut penulis, perkawinan ini, pada saat ini akan berdampak kepada kelanggenan rumah tangga yang akan dibangun, begitu juga dapat berakibat fatal, yaitu terpengaruhnya suami dan kemudian anak-anaknya kepada agama istrinya yang ahl al-Kitāb. Seharusnya, hal yang mungkin terjadi adalah terpengaruhnya istri yang ahl al-Kitāb terhadap suami yang muslim. Tetapi, di zaman sekarang ini, yang dikenal dengan persepsi masyarakat akan kesetaraan gendernya, persepsi seperti penulis nyatakan sudah agak mulai bergeser. Artinya, tidak hanya suami yang "berhak" mempengaruhi istri, tetapi istri juga "berhak" mempengaruhi suami. Oleh karenanya, perkawinan semacam ini sebaiknya tidak dilangsungkan. Atas dasar pertimbangan menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Berbeda halnya dengan KHI yang terdapat dua pasal yang mengatur tentang perkawinan beda agama, tetapi tidak membagi orang-orang "yang berbeda agama" menjadi dua kelompok yang berbeda, yaitu ahl al-Kitāb dan musyrik, tetapi menggabungkan keduanya dengan menyebut mereka sebagai non-muslim. Sebenarnya, orang-orang non-muslim yang dimaksud oleh pasal 40 huruf C dan pasal 44 KHI itu adalah orang-orang non-muslim yang terdiri dari orang-orang ahl al-Kitāb dan orang-orang musyrik serta orang-orang yang disamakan dengan musyrik seperti orang-orang atheis, komunis dan lain-lain. Agaknya, ini adalah sebab dari ketegasan KHI untuk memberikan aturan pernikahan dengan orang-orang non-muslim, dengan menutup segala bentuk perkawinan beda agama, baik dengan ahl al-Kitāb maupun musyrik. Dalam kaitannya dengan perkawinan beda agama, pembagian ini seharusnya diperlukan untuk membedakan antara keduanya. Pembagian ini menjadi penting karena ada ayat al-Qur'an yang melarang menikahi "sebagian" dari orang-orang non-muslim itu. Tetapi kemudian, hal ini bukanlah menjadi suatu permasalahan, karena dalam kaitannya dengan perkawinan beda agama, selalu yang dimaksud adalah perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitāb. Hal ini adalah karena setiap perkawinan beda agama selain yang disebut ini, ulama sepakat mengharamkannya. Yahudi dan Nasrani tidak termasuk kaum musyrik yang pria dan wanita mereka haram untuk dinikahi oleh orang Islam. Walaupun kedua-duanya -Yahudi dan Nasrani- dianggap berbeda agama, tetapi, sesuai dengan teks dhahir ayat dalam al-Qur'an, Allah SWT. membolehkan perkawinan dengan wanita mereka, tetapi tidak dengan wanita musyrik, terlebih lagi dengan pria musyrik. Kebolehan itu menurut sebagian ulama adalah rukhshah atau keringanan yang diberikan Allah SWT. Ringkasnya, hanya kepada kedua golongan agama inilah wanita mereka yang dibolehkan untuk dinikahi seperti yang termaktub dalam al-Qur'an. Implikasi kebijakan dari pendapat ulama fiqh Syāfi'iyyah dan Quraish mengenai makna ahl al-Kitāb tentang perkawinan adalah setiap permasalahan tentang perkawinan beda agama harus tertuju kepada Yahudi dan Nasrani saja, karena hanya kepada keduanyalah yang disebut sebagai ahl al-Kitāb, walaupun di satu sisi Quraish tidak memandang kapan, dimana, dan keturunan siapa. Akan tetapi, salah satu yang disebut sebagai ahl al-Kitāb tidak terdapat di negeri ini, yakni orang-orang Yahudi. Yang ada hanyalah orang-orang Nasrani. Di Indonesia, orang-orang Nasrani biasa disebut dengan orang-orang Katolik dan orang-orang Kristen. Tiga agama selain agama Kristen dan Katolik yang hidup dan diakui di Indonesia, yaitu agama Budha, Hindu dan Kong hu chu, menurut ulama fiqh Syāfi'iyyah maupun Quraish tidak dapat dikategorikan sebagai ahl al-Kitāb. Dalam pencarian data, penulis tidak menemukan pernyataan Quraish bahwa ketiga agama tersebut termasuk dalam kategori musyrik yang pria dan wanita mereka haram untuk dinikahi oleh orang Islam. Beda halnya dengan ulama fiqh Syāfi'iyyah yang membatasi ahl al-Kitāb dengan Bani Israil yang mencakup Yahudi dan Nasrani yang murni ataupun selain Bani Israil tetapi harus dipastikan telah memeluk agama Bani Israil sebelum penghapusan dan pergantian syari'at. Kemudian, para ulama fiqh Syāfi'iyyah memperluas pengertian musyrik yang mencakup seluruh orang yang tidak menganut agama samawi, agama yang diajarkan Rasullullah dan tidak memiliki kitab suci. Karena itu, mereka tidak hanya melarang pria muslim menikah dengan penyembah berhala saja, tetapi juga para penyembah bintang, binatang dan api. Sebagaimana keterangan dalam fiqh al-Islami wa adillatuh : يجوز تزوج الصابئيات إذا كانوا يؤمنون بنبي ويقرون بكتاب، وإن كانوا يعبدون الكواكب، ولا كتاب لهم، لم تجز مناكحتهم Artinya : Boleh menikahi Shābi'un apabila mereka beriman dengan nabi SAW. dan mengakui dengan kitab, dan jikalau mereka menyembah bintang dan tidak memiliki kitab niscaya tidak boleh menikahi mereka. Penelitian ini tidak menelusuri apakah agama Budha, Hindu dan Konghuchu itu percaya kepada Allah dan menjadikan berhala-berhala atau dewa-dewa sebagai sembahan dan perantara kepada Allah atau tidak. Jika demikian adanya, bahwa mereka menjadikan berhala-berhala atau dewa-dewa sebagai sembahan dan perantara kepada Allah, maka mereka termasuk dalam kategori musyrik. Pendapat ini bersandar pada pendapat para pakar tafsir al-Qur'an yang menyatakan bahwa orang-orang musyrik itu tidak hanya orang-orang musyrik Makkah saja ketika al-Qur'an diturunkan, tetapi mencakup semua penyembah dewa-dewa dan berhala-berhala selain menyembah Allah. Tetapi yang pasti menurut Quraish, ketiga agama ini tidak termasuk dalam kategori ahl al-Kitāb. Di dalam al-Qur'an, seperti yang dikatakan oleh Abu al-A'la al-Mawdudi, terdapat tiga kategorisasi kepercayaan, yaitu musyrik, ahl al-Kitāb dan ahl al-Iman. Tentulah agama Budha, Hindu dan Kong hu chu tidak termasuk dalam kelompok kedua dan ketiga. Merujuk kepada pendapat al-Mawdudī, agama Budha, Hindu dan Kong hu chu termasuk dalam kategori musyrik, sesuai dengan kategorisasi al-Qur'an. Terlepas dari itu semua, al-Qur'an menyuruh kepada orang-orang muslim untuk berbuat baik kepada orang yang berbeda agama, baik musyrik maupun ahl al-Kitāb, dengan syarat mereka tidak memusuhi dalam agama dan tidak mengusir umat Islam dari negerinya. Orang–orang musyrik pun harus diperlakukan sama, sebagaimana perlakuan terhadap ahl al-Kitāb. Kembali kepada implikasi kebijakan di muka bahwa setiap permasalahan tentang perkawinan beda agama dengan merujuk kepada pendapat ulama fiqh Syāfi'iyyah maupun Quraish, harus tertuju kepada Yahudi dan Nasrani saja, hanya saja Quraish berpendapat tanpa memandang kapan, dimana dan keturunan siapapun mereka karena hanya kepada keduanyalah yang disebut sebagai ahl al-Kitāb. Kalangan madzhab Hanafi dan al-Syāfi’ī menyatakan secara jelas makruh menikahi ahl al-Kitāb. Adapun hujjahnya mereka mengatakan bahwasanya 'Umar RA. pernah berkata kepada para sahabatnya yang menikah dengan wanita ahl al-Kitāb, “Talaklah mereka!” Maka merekapun mentalaknya, kecuali Hudzayfah RA. Lalu 'Umar RA. berkata kepada Hudzayfah, “Talaklah ia!” Hudzayfah berkata, “Anda bersaksi bahwa wanita ahl al-Kitāb itu haram?” 'Umar RA. berkata, “Dia itu khamrah (peminum khamar), maka talaklah dia.” Hudzayfah berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita) ahl al-Kitāb itu haram?” 'Umar berkata, “Dia itu khamrah.” Hudzayfah mengatakan, “Saya mengetahui bahwa dia itu khamrah, akan tetapi dia halal bagiku.” Akan tetapi tidak lama setelah itu Hudzayfah mentalaknya. Maka ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tidak mentalaknya ketika kamu disuruh 'Umar?” Hudzayfah mengatakan, “Aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak sepantasnya bagiku.” Atau karena barangkali hati Hudzayfah cenderung kepadanya wanita ahl al-Kitāb itu, lalu dia terfitnah oleh wanita itu, atau barangkali antara keduanya ada anak, sehingga dirinya cenderung kepada wanita ahl al-Kitāb tersebut.” sebagaimana yang disebutkan dalam Syarh Kabīr Li Ibn Qudamah : قال ابن قدامة رحمه الله : إذا ثبت هذا , فالأولى أن لايتزوج كتابية ; لأن عمر قال للذين تزوجوا من نساء أهل الكتاب : طلقوهن . فطلقوهن إلا حذيفة , فقال له عمر : طلقها . قال : تشهد أنها حرام ؟ قال : هي جمرة , طلقها .قال : تشهد أنها حرام ؟ قال : هي جمرة . قال : قد علمت أنها جمرة , ولكنها لي حلال. فلما كان بعدُ طلقها , فقيل له : ألا طلقتها حين أمرك عمر ؟ قال : كرهت أن يرى الناس أني ركبت أمرا لا ينبغي لي . ولأنه ربما مال إليها قلبه ففتنته , وربما كان بينهما ولد فيميل إليها Artinya:“berkatalah ibnu Qadamah-rahimahullah-apabila nyatalah ini kebolehan menikahi wanita ahl al-Kitāb. Maka yang lebih utama jangan menikahi ahl al-Kitāb karena 'Umar RA. pernah berkata kepada para sahabatnya yang menikah dengan wanita ahl al-Kitāb, “Talaklah mereka!” Maka merekapun mentalaknya, kecuali Hudzayfah RA. Lalu 'Umar RA. berkata kepada Hudzayfah, “Talaklah ia!” Dia Hudzayfah berkata, “Anda bersaksi bahwa dia wanita ahl al-Kitāb itu haram?” 'Umar RA. berkata, “Dia itu khamrah (peminum khamar), maka talaklah dia.” Hudzayfah berkata, “Anda bersaksi bahwa dia wanita ahl al-Kitāb itu haram?” 'Umar berkata, “Dia itu khamrah.” Hudzayfah mengatakan, “Saya mengetahui bahwa dia itu khamrah, akan tetapi dia halal bagiku.” Akan tetapi tidak lama setelah itu Hudzayfah mentalaknya. Maka ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tidak mentalaknya ketika kamu disuruh 'Umar?” Hudzayfah mengatakan, “Aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku.” Atau karena barang kali hati Hudzayfah cenderung kepadanya wanita ahl al-Kitāb itu, lalu dia terfitnah oleh wanita itu, atau barangkali antara keduanya terdapat anak, sehingga dirinya cenderung kepada wanita kitābiyyah tersebut”. Sedangkan di dalam al-Fiqh al-Islamī Wa Adillatuh diterangkan : يتبين من ذلك أن عمر رضي الله عنه منع حذيفة من الزواج بالكتابية، لما فيه من الضرر، وهو إما الوقوع في زواج المومسات منهن، أو تتابع المسلمين في زواج الكتابيات، وترك المسلمات بلا زواج. رأي الشافعية في زواج الكتابية: هذا هو حكم الزواج بالكتابيات، يجوز عند الجمهور بلا شرط، لكن قيد الشافعية الزواج بالكتابية بقيد، فقالوا :تحل كتابية، لكن تكره حربية، وكذا ذمية على الصحيح، لما في الميل إليها من خوف الفتنة Artinya : Nyata daripada uraian tersebut, bahwa 'Umar RA. Melarang Hudzayfah untuk menikahi ahl al-Kitab karena kemudharatan yang terdapat padanya. Yaitu adakala suami mengikuti ajaran agama ahl al-kitab serta muslim lainnya juga menikah dngan wanita ahl al-kitab dan meninggalkan wanita-wanita tanpa suami. Pendapat pengikut Imam Syāfi’ī tentang menikahi wanita ahl al-Kitab: Hukum menikahi wanita ahl al-Kitab, boleh berdasarkan pendapat mayoritas ulama tanpa syarat, tetapi pengikut Imam Syāfi’ī menambahkan beberapa ketentuan, maka mereka mengatakan: dihalalkan wanita ahl al-Kitab tetapi dimakruhkan yang Harbī, seperti demikian juga Dzimmī berdasarkan pendapat yang kuat, karena ditakutkan timbul fitnah(bagi agama) ketika cenderung hati kepada mereka. Dalam riwayat yang lain 'Umar RA. mengatakan, “Diriku khawatir seandainya kalian meninggalkan wanita muslimah dan menikahi wanita pelacur.” Disamping itu, mereka memakruhkan pernikahan muslim dengan wanita-wanita ahl al-Kitāb karena beberapa alasan, diantaranya: a. Dikhawatirkan wanita tersebut akan membawa fitnah, baik bagi dirinya ataupun agamanya. b. Wanita ahl al-Kitāb tidak mengimani risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.. Dikhawatirkan mereka bisa memalingkan kaum muslimin dari agama mereka. c. Dikhawatirkan wanita ahl al-Kitāb akan menjerumuskan anak-anak kaum muslimin kepada jurang kekafiran atau memperkenalkan budaya-budaya Nasrani, karena seorang ibu adalah madrasah yang pertama bagi anak-anaknya. Seperti menyembah nabi 'īsā AS. ke gereja, merayakan pesta Natal dan lain-lain. Maka hal ini akan memperparah kondisi anak-anak suatu saat nanti. Walaupun kalangan madzhab Syāfi'ī memakruhkan, akan tetapi mereka memperbolehkan bagi seorang muslim menikahi wanita ahl al-Kitāb dengan beberapa persyaratan, diantaranya: a. Hanya wanita ahl al-Kitāb yang berstatus dzimmi saja yang diperbolehkan untuk dinikahi. Karena wanita yang berstatus harbi akan menimbulkan banyaknya fitnah pada laki-laki muslim. b. Wanita tersebut dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan bukan wanita yang berpegang kepada kitab Zabur dan shuhuf yang lainnya, seperti shuhuf Syits, Idris dan Ibrahim AS. Sebagaimana para ahli tafsir al-Qur'an dan juga para ulama fiqh Syāfi'iyyah ketika menafsirkan ayat tentang perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitāb, yakni Q.S. al-Maidah (5) ayat 5, Quraish juga menulis dalam berbagai buku yang dikarangnya bahwa Allah membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-Kitāb. Menurut Quraish, kebolehan menikahi wanita ahl al-Kitāb, dan tidak dibolehkannya menikah dengan pria dan wanita musyrik adalah bahwa ahl al-Kitāb mempunyai ajaran yang jika mereka indahkan akan menghasilkan perkawinan yang tidak otomatis buruk, meskipun juga kemudian Quraish khawatir dengan pernyataannya sendiri. Akan tetapi, Quraish bukannya tidak melihat berbagai macam masalah yang dapat ditimbulkan akibat dari perkawinan ini. Walaupun ahl al-Kitāb itu mempunyai ajaran yang jika mereka indahkan dimungkinkan juga kepada terciptanya perkawinan yang tidak otomatis buruk, tetapi tetap saja ia dinamakan sebagai kelompok "yang berbeda agama". Dari sini, sebagaimana yang ditakutkan banyak kalangan, perkawinan justru akan berdampak pada perselisihan karena perbedaan prinsip keimanan, dan oleh karenanya bertentangan dengan tujuan perkawinan, yakni menciptakan keluarga yang sakinah. Apalagi ditakutkan akan terpengaruhnya suami dan anak-anaknya kepada ajaran istrinya yang ahl al-Kitāb. Dari kekhawatirannya ini, Quraish kemudian menghukumi makruh perkawinan ini. Lebih lanjut, apabila seseorang tetap hendak menikah dengan wanita ahl al-Kitāb, tetapi ia tidak bisa atau tidak terlihat dalam dirinya akan mampu menjaga alasan dibolehkannya perkawinan ini, yaitu menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam kepada istri dan keluarganya, maka pernikahan semacam ini haruslah diharamkan. Dari sini juga kemudian, Quraish dapat menerima pendapat yang melarang perkawinan beda agama, tetapi alasan yang dikemukakan adalah untuk kemashlahatan, dan bukan alasan yang mengatakan bahwa ahl al-Kitāb itu termasuk dalam kategori musyrik, sebagaimana pendapat Ibnu ''Umar, anak Khalifah ''Umar bin Khatthab. Dengan merujuk kepada pendapat ulama fiqh Syāfi'iyyah maupun Quraish, yang pada awalnya membolehkan, kemudian menghukumi makruh, lalu berlanjut apabila seseorang tidak bisa menjaga alasan dibolehkannya maka diharamkan, ditambah lagi dengan kekhawatiran-kekhawatirannya yang sangat asasi, yakni kekhawatirannya tentang tidak tercapainya tujuan dari perkawinan itu sendiri. Tentunya alasan tidak dibenarkannya perkawinan ini adalah alasan mashlahah. Masalah terpengaruhnya suami terhadap agama istrinya, di zaman ini, yang dikenal dengan persepsi masyarakat akan kesetaraan gendernya, tidaklah mustahil terjadi. Padahal, apabila ditilik dari tanggung jawab suami kepada istrinya, hal yang mungkin terjadi adalah suami yang mempengaruhi istri, dikarenakan suami sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab mengurus keluarga. Atau apabila bukan ini alasan yang tepat, dari hubungan perkawinan akan tercipta sikap saling toleransi antara suami dan istri dalam banyak hal. Atas dasar toleransi, ditambah lagi dengan bumbu-bumbu cinta, bisa saja si suami akan terpengaruh dan kemudian pindah agama. Belum lagi masalah lain yang cukup pelik, yaitu masalah menjaga anak-anaknya. Menurut Quraish, apabila anak-anaknya terpengaruh kepada nilai-nilai ajaran istrinya yang ahl al-Kitāb, maka perkawinan itu harus dibubarkan. Apalagi anak-anaknya mengikuti agama yang dianut oleh istrinya. Masalah ini boleh dianggap cukup pelik, karena seorang anak biasanya dekat dengan ibunya. Bukankah dalam adat kebiasaan di rumah tangga, seorang ibulah yang bertugas menjaga dan mendidik anak-anaknya sedari kecil. Bukankah anak, menurut adat kebiasaan, dalam pergaulan di dalam keluarga, lebih dekat kepada ibu daripada ayahnya?. Penanaman nilai-nilai dan ajaran-ajaran istrinya yang ahl al-Kitāb itu sedari kecil akan memperkokoh pendirian si anak untuk mempelajari ajaran agama ibunya. Apabila semua ini terjadi, tentunya akibat dari perkawinan itu tidak sesuai dengan tujuan Allah menetapkan hukum bagi manusia Maqashid al-Syari'ah , yaitu untuk menjaga kemaslahatan bagi manusia. Dalam hal ini, mashlahah yang harus dijaga adalah pemeliharaan atas agama . Jika agama sudak terkorbankan, maka sudak tidak lagi dinamakan menjaga mashlahah, tetapi mendatangkan mafsadah atau kerusakan bagi manusia. Di dalam peringkat Maqashid al-Syari’ah, menjaga agama adalah peringkat pertama yang dinamakan dharūrī, yaitu memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Dari kekhawatiran-kekhawatiran dan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan inilah sebenarnya diperlukan pencegahan. Seseorang tidak bisa menjamin bahwa setelah ia menikah dengan wanita ahl al-Kitāb, ia tidak akan terpengaruh ajaran agama istrinya. Walaupun kemungkinan jaminan itu masih tetap ada, tetapi menurut penulis, ini bukanlah alasan yang tepat jika tidak didukung oleh kesiapan mental-sprituil yang kuat. Dari sini dapat diambil satu kaidah yang terkenal yaitu: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح Maksudnya bahwa menghindari mafsadah itu harus didahulukan daripada menarik mashlahah. Lebih baik menghindar dari menikah dengan wanita ahl al-Kitāb untuk menghindari mafsadah. Apalagi mafasdah disini berkaitan dengan hal yang paling esensi bagi manusia, yaitu menjaga agamanya dan agama anak-anaknya. Walaupun bukan tidak ada maslahahnya sama sekali menikah dengan wanita ahl al-Kitāb, yaitu agar mereka lebih simpati kepada Islam, tetapi, mafsadah disini, lebih besar dari mashlahahnya. Pada dasarnya, tujuan diberlakukannya suatu hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari kerusakan baik di dunia maupun di akhirat. Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam al-Qur'an dan Hadis, maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik tolak pada tujuan tersebut. Semua metode itu yang digunakan untuk menemukan hukum, bermuara pada upaya penemuan mashlahah. Upaya penemuan mashlahah ini juga yang dikehendaki oleh Maqashid al-Syari'ah tujuan penetapan hukum. Maqashid al-Syarī'ah perlu difahami dalam rangka mengetahui apakah terhadap satu kasus hukum masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum atau karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak lagi dapat diterapkan. Pada dasarnya perbuatan itu dibolehkan, tetapi kemudian, perbuatan yang dibolehkan itu dilarang. Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan ataupun tindakan lain yang dilarang agama. Perbuatan atau tindakan yang dilarang oleh agama disini adalah beralihnya agama suami kepada agama yang dianut oleh istrinya, dan pada umumnya, agama yang dianut oleh anaknya, sama dengan agama yang dianut oleh ibunya. Para ulama dan para ahli tafsir al-Qur'an yang membedakan antara ahl al-Kitāb dan musyrik, tentunya ketika menafsirkan Q.S. al-Maidah (5) ayat 5, berpendapat bahwa Allah membolehkan seorang pria muslim menikah dengan wanita ahl al-Kitāb. Akan tetapi, mereka pada umumnya, setelah melihat akibat-akibat yang dapat ditimbulkan, disamping kekhawatiran akan adanya misi agama tertentu, mereka kemudian "melarang dengan halus" perkawinan ini. Apabila tidak demikian adanya, paling tidak, mereka menghukumi makruh dengan berbagai syarat yang sangat ketat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 1 Juni 1980, ketika menutup dibolehkannya perkawinan ini, juga berpendapat bahwa pada dasarnya dibolehkan bagi pria muslim menikahi wanita ahl al-Kitāb. Tetapi, setelah mengemukakan berbagai alasan, MUI berpendapat bahwa mafsadahnya lebih besar dari mashlahahnya, oleh sebab itu perkawinan ini tidak dibenarkan, disamping kekhawatiran karena adanya misi agama tertentu. D. Analisa Penulis Dalam pandangan fiqh Syāfi'iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab, kiranya dapatlah dikemukakan di sini bahwa implikasi dari pemaknaan ahl al-Kitāb dengan Yahudi dan Nasrani adalah bolehnya menikahi ahl al-Kitāb yang khālishah, Bani Israil ataupun selainnya tetapi diketahui bahwa telah menganut ajaran Yahudi atau Nasrani semenjak nenek moyangnya dan dapat dipastikan bahwa nenek moyangnya menganut agama tersebut sebelum adanya penghapusan atau pergantian syari’at. Jadi, jika pada zaman sekarang kita mendapati kriteria ahl al-Kitāb seperti yang penulis jelaskan, maka jelas kebolehan menikahinya. Namun ketika penulis memperhatikan kepada mashlahah dan mafsadah perkawinan dari sekian banyak uraian baik dari fiqh Syāfi'iyyah maupun pemikiran Quraish maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan dengan ahl al-Kitāb sebaiknya ditinggalkan, bahkan wajib ditinggalkan jika mafsadah yang akan timbul pasti. Disadari atau tidak, bahwa kemaslahatan, pada suatu saat, harus didahulukan daripada nash. Al-Qur'an secara eksplisit telah membolehkannya, namun, kemaslahatan umat Islam menghendaki lain. Dari penjelasan pemahaman ahl al-Kitāb berdasarkan fiqh Syāfi'iyyah dan pemikiran M. Quraish Shihab dapat penulis fahami bahwa perkawinan dengan ahl al-Kitāb adalah makruh karena ditakutkan akan menimbulkan mafsadah dalam agama, bahkan bisa menjadi haram jika pasti akan menimbulkan mafsadah. Baik makruh ataupun haram disini bukan makruh ataupun haram lizatihi, tetapi makruh dan haram lighayrihi yakni untuk menutup peluang mafsadah yang akan ditimbulkan. Artinya, suatu kasus hukum bisa berubah hukumnya karena perubahan zaman, tempat dan struktur sosial karena pertimbangan kemaslahatan umat. Tentu saja ayat yang membolehkan itu tetap berlaku apabila keadaan memungkinkan, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa sahabat dan tabiin, dimana mereka ada yang menikahi wanita ahl al-Kitāb. Pendapat seperti yang penulis terangkan, juga senada dengan pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan dengan wanita ahl al-Kitāb itu adalah mubah, tetapi situasi dan kondisi tidak menghendakinya. Berangkat dari sini, sebenarnya ulama fiqh Syāfi'iyyah dan juga Quraish, tidak menentang nash, melainkankan hanya menerapkan dalil-dalil yang bersifat umum, seperti dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 217, Allah SWT. mengharamkan murtad atau pindah agama, hadis nabi yang menyatakan bahwa kesamaan agama merupakan unsur yang harus diperhatikan dalam perkawinan dan hadis nabi yang menyatakan bahwa anak-anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), hanya orang tua mereka yang membuat mereka menjadi orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dalil-dalil ini dianggap sebagai dalil yang mendukung tujuan tersebut. Akhirnya, perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kitāb berdasarkan al-Qur’an surat al-Maidah (5) ayat 5 adalah suatu kebolehan, bukan anjuran, apalagi perintah. Hal yang terpenting dari perkawinan adalah tercapainya keluarga yang sakinah. Karenanya, perkawinan yang ideal dan lebih aman adalah perkawinan dengan orang yang seagama. Dari sini, atas dasar kemaslahatan, dapatlah disimpulkan bahwa pendapat Quraish tentang perkawinan beda agama sejalan dengan ulama fiqh Syāfi'iyyah. Hanya saja Quraish tidak membatasi kapan, dimana dan keturunan siapa, walaupun pada akhirnya Quraish menyatakan sebaiknya ditinggalkan karena memandang kepada kemashlahatan dalam agama. Ketentuan ini berbeda dengan ulama fiqh Syāfi'iyyah yang membatasi kriteria ahl al-Kitāb dengan Bani Israil baik Yahudi ataupun Nasrani yang dipastikan nenek moyang mereka telah menganut ajaran tersebut sebelum kebangkitan nabi Muhammad SAW., ataupun selain Bani Israil tetapi dengan ketentuan dapat dipastikan telah menganut ajaran Yahudi atau Nasrani semenjak dari nenek moyang mereka, sebelum penghapusan dan pergantian dengan agama Islam. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Makna ahl al-Kitāb yang terkandung dalam Q.S al-Mā’idah ayat 5 maupun dalam surat yang lain memiliki makna yang beragam dari para ulama. Menurut mayoritas ulama fiqh Syāfi’iyyah, ahl al-Kitāb adalah Bani Israil yang khālishah yaitu Yahudi dan Nasrani yang semenjak nenek moyang mereka telah menganut ajaran Yahudi atau Nasrani sebelum ajaran terbut dihapuskan. Dan selain Bani Israil dapat juga digolongkan kepada ahl al-Kitāb dengan ketentuan nenek moyang mereka telah menganut ajaran Yahudi dan Nasrani sebelum datang ajaran Islam. Sedangkan minoritas ulama madzhab Syāfi’ī berpendapat bahwa ahl al-Kitāb tidak terbatas kepada Yahudi dan Nasrani saja, tetapi mencakup Shābiun dan Sāmirah karena berasumsi bahwa Shābiun tergolong dalam Nasrani dan Sāmirah tergolong kepada Yahudi. Pendapat ini sedikit berbeda dengan pemikiran Quraishyang menyatakan bahwa ahl al-Kitāb hanya sebatas Yahudi dan Nasrani, hanya saja Quraish tidak membatasi dengan ketentuan kapan mereka telah menganut ajaran tersebut, dimana mereka berada dan keturunan siapa mereka. 2. Implikasi dari pendapat ulama fiqh Syāfi’iyyah adalah boleh menikahi Bani Israil baik Yahudi, Nasrani, Shābiun dan Sāmirah serta selain Bani Israil jika nenek moyang mereka telah menganut ajaran ahl al-Kitāb sebelum datang ajaran. Sedangkan pemikiran Quraish menyimpulkan boleh menikahi Yahudi dan Nasrani saja tanpa memandang kapan meraka telah memeluk ajaran ahl al-Kitāb, dimana mereka berada dan keturunan siapa mereka. Pemikiran ini bertolak belakang dengan ulama fiqh Syāfi’iyyah yang mensyaratkan ahl al-Kitāb tersebut telah memeluk ajaran Yahudi atau Nasrani sebelum datang ajaran Islam, bahkan ulama fiqh Syāfi’iyyah memakruhkan menikahi ahl al-Kitāb yang Dzimmī dan mengharamkan menikahi ahl al-Kitāb yang Harbī. Namun demikian baik ulama fiqh Syāfi’iyyah maupun Quraish pada akhirnya menghukumi makhruh melakukan perkawinan dengan ahl al-Kitāb karena memandang mashlahah yang dharurī yaitu pada pemeliharaan agama si muslim dan keturunan si muslim, karena takut akan timbulnya dharar ataupun mafsadah dalam perkawinan ini. B. Saran-saran 1. Permasalahan pernikahan dengan ahl al-Kitāb merupakan persoalan klasik yang masih dan terus aktual untuk diperbincangkan. Seharusnya masalah ini terus diteliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda agar mendapatkan persepsi yang menyeluruh dalam menyikapi satu masalah. Penelitian ini hanyalah salah satu dari berbagai sudut pandang itu, dan tentunya, penelitian dari berbagai sudut pandang yang lain sangat diperlukan. 2. Walaupun kebolehan menikahi wanita ahl al-Kitāb telah ditutup bukan berarti umat Islam harus menutup diri dalam bergaul dengan ahl al-Kitāb. Justru ditutupnya kebolehan ini, untuk menunjang kerukunan antar umat beragama. 3. Dalam kondisi sangat normal dan lingkungan yang Islami seorang muslim harus tetap berhati-hati dalam memilihkan jodoh untuk anak atau saudara perempuannya. Jangan hanya mengejar keuntungan dunia, posisi sosial, dan nasab serta pamor keturunan, bahkan pernikahan harus dibangun di atas dasar agama dan memilih calon yang beragama dan ahli ibadah sebagaimana sabda nabi SAW. Akhirnya, kami berharap pembahasan yang sederhana ini bermanfaat bagi pembaca yang budiman. Dan teguran serta kritikan membangun sangatlah kami harapkan agar kita selalu berada di jalan yang lurus dalam setiap tindak dan tanduk kita dalam rangka mengharap ridha-Nya semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar